🍷 Lembaga Pbb Yang Berwenang Mengadili Pelanggaran Ham Internasional Adalah

Berikutini beberapa lembaga penegakan hak asasi manusia. a. Lembaga Penegakan HAM Internasional. Secara umum konsep lembaga hak asasi manusia adalah lembaga yang berfungsi secara khusus dalam pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia. Agar usaha pelaksanaan HAM Apa sajakah peraturan yang menjadi jaminan hukum hak asasi manusia di Indonesia? REPUBLIKACO.ID, KAIRO - Parlemen Arab pada Jumat menyambut baik keputusan Dewan Hak Asasi Manusia PBB untuk meluncurkan penyelidikan internasional atas pelanggaran HAM oleh Israel selama serangan di wilayah Palestina baru-baru ini. Sebuah pernyataan dari badan itu mengatakan langkah PBB tersebut sejalan dengan seruan Parlemen Arab untuk 9 BKBH (Biro Konsultasi dan Bantuan Hukum) Perguruan Tinggi. 10. KONTRAS (Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) 1. POLRI (Kepolisian Negara Republik Indonesia) Dasar hukum dari Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) menjadi salah satu lembaga perlindungan HAM yaitu Undang-Undang No. 2 Tahun 2002. jB824W5. Pembentukan pengadilan pidana internasional merupakan sarana penyelesaian pelanggaran berat hak asasi manusia. Dasar pembentukannya melalui statuta Roma yang berwenang memeriksa beberapa jenis kejahatan seperti genosida, kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan dan agresi. Kehadiran pengadilan pidana internasional juga mengubah pola penegakan hukum pidana internasional yang semula indirect enforcement menuju pada model direct enforcement. Jika dikaitkan dengan konteks Indonesia maka keberadaan pengadilan pidana internasional akan mendukung sepenuhnya proses pelanggaran hak asasi manusia yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free Volume 7 No. 1, April 2019E-ISSN 2477-815X, P-ISSN 2303-3827Nationally Accredited Journal, Decree No. 30/E/KPT/2018open access at work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike International LicenseDOI PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA BERAT MELALUI MEKANISME PENGADILAN NASIONAL DAN PENGADILAN PIDANA INTERNASIONAL THE RESOLUTION OF GROSS HUMAN RIGHTS VIOLATIONS THROUGH MECHANISM NATIONAL COURTS AND INTERNATIONAL CRIMINAL COURTS Ufran Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Email ufrantrisa establishment of International Criminal Court ICC is a pivotal solution to address gross violations of human rights. Rome statute, a fundamental formation, has the authority to investigate several types of crimes such as, genocide, war crimes, crimes against humanity, and the crime of aggression. The existence of ICC has been modifying the enforcement of international criminal law from indirect enforcement to direct enforcement. Regarding to the Indonesian context, the ICC will fully support the process of human rights violations which regulated in Act number 26, in 2000 concerning the Human Rights words Violations of Human Rights, International Criminal pengadilan pidana internasional merupakan sarana penyelesaian pelanggaran berat hak asasi manusia. Dasar pembentukannya melalui statuta Roma yang berwenang memeriksa beberapa jenis kejahatan seperti genosida, kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan dan agresi. Kehadiran pengadilan pidana internasional juga mengubah pola penegakan hukum pidana internasional yang semula indirect enforcement menuju pada model direct enforcement. Jika dikaitkan dengan konteks Indonesia maka keberadaan pengadilan pidana internasional akan mendukung sepenuhnya proses pelanggaran hak asasi manusia yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi kunci Pelangaran Hak Asasi Manusia, Pengadilan Pidana Internasional PENDAHULUANTerjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang meluas, pengabaian memang seharusnya bukan merupakan pilihan, sekalipun upaya menyelesaikan masa lalu tidaklah Dalam situasi tersebut, penyelesaian melalui proses hukum merupakan satu kata kunci untuk menghapus praktek kekebalan hukum. Mengadili para pelaku yang terlibat dalam pelanggaran HAM berat merupakan prasyarat suatu negara menuju kepada pemerintahan demokratis yang melindungi dan menghormati pelaksanaan hak-1 Karlina Leksono Supeli, Tidak Ada Jalan Pendek Menuju Rekonsiliasi, Jurnal Demokrasi dan HAM, Vol. 1, No. 3, Maret-Juni 2001, hlm. 9 171 Kajian Hukum dan Keadilan IUSP-ISSN 2303-3827, E-ISSN 2477-815Xhak asasi manusia. Upaya untuk memajukan perlindungan hak asasi manusia tersebut tidak bisa dilepaskan dari kondisi sosial politik Indonesia pada masa Indonesia harus mengakomodasi kecenderungan global dalam demokratisasi dan hak asasi Tidak akan ada demokrasi tanpa adanya pengakuan terhadap hak-hak kebebasan sipil dan politik bagi warganya. Hal tersebut menggambarkan semacam korespondensi antara hak asasi manusia dan perkembangan Oleh karena itu, dalam rezim pemerintahan demokratis beberapa instrumen hukum dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh legislasi nasional maupun yang meratifikasi beberapa instrument internasional juga mulai diberlakukan. Perhatian untuk memajukan perlindungan HAM tercantum secara eksplisit dalam beberapa peraturan perundang-undangan seperti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 Tentang Pengesahan Convention Against Torture And Other Cruel, Inhuman Or Degrading Treatment Or Punishment Konvensi Menentang Penyiksaan Dan Perlakuan Atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi, Atau Merendahkan Martabat Manusia.5 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1999 Tentang Pengesahan International Convention On The Elimination Of All Forms Of Racial Discrimination 1965 Konvensi Internasional Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial 1965.6 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat dan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang satu pranata hukum yang mempunyai peranan penting dalam rangka implementasi hak asasi manusia adalah Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000. Peraturan perundang-undangan tersebut untuk menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia yang berat sesuai dengan ketentuan Pasal 104 ayat 1 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Selain itu juga lahirnya undang-undang ini adalah pengganti dan sekaligus mencabut Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang dinilai tidak lahirnya UU No. 26 Tahun 2000 tersebut, pemerintah seolah ingin mengubah citra buruk di mata internasional selama ini bahwa Indonesia enggan menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran berat HAM yang pernah terjadi di masa lalu. Bahkan keberadaan peraturan perundang-undangan tersebut dianggap sebagai upaya nyata Indonesia untuk menghindari campur tangan internasional dalam urusan domestik 2 Realitas-realitas politik yang kemudian melahirkan tekanan domestik untuk memberikan per-lindungan HAM tersebut seperti adanya politisasi ideology dan otonomi Negara, politik represif orde baru dan pelanggaran HAM, konstruksi politik Negara yang otoriter, HAM sebagai isu budaya barat, Kondisi-kondisi tersebut melahirkan resistensi dan perlawanan dari masyarakat khususnya elemen pro-demokrasi untuk memaksa rezim yang berkuasa untuk menjamin dan menghormati adanya hak asasi manusia. Marcus Priyo Gunarto, Perlindungan Hak Asasi Manusia di Indonesia dalam Dinamika Global, Jurnal Mimbar Hukum Vol 19, Nomor 2 Juni 2007, hlm. 260-264. 3 Abu Rokhmad, Hak Asasi Manusia Dan Demokrasi Di Era Globalisasi Menuju Promosi dan Perlind-ungan Hak Asasi Manusia Generasi Kedua, Jurnal Hukum, Vol. XV, No. 3, Desember 2005, Hlm. 4964 Satjipto Rahardjo, Hak Asasi Manusia dalam Masyarakatnya, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 7, Ma-ret 2004, hlm15 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa di dalam sidangnya pada tanggal 10 Desember 1984 telah menyetujui Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak-Manusi-awi Atau Merendahkan Martabat Manusia dan Pemerintah Republik Indonesia telah menandatangani konvensi tersebul pada tanggal 23 Oktober Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa dalam sidangnya pada tanggal 21 Desember 1965 tel-ah menerima secara baik International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimina-tion Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial dengan Resolusi 2106A XX; Jurnal IuS Vol VII Nomor 1 April 2019 hlm, 172 Kajian Hukum dan Keadilan IUS172~181terkait dengan kejahatan kemanusiaan. Pendapat tersebut juga sejalan pernyataan Erlis S Nurbani, bahwa dengan mengadili sendiri pelaku kejahatan HAM berat diharapkan dapat mengurangi intensitas perhatian masyarakat internasional terhadap kejahatan-kejahatan HAM berat khususnya yang terjadi di Timor-Timor pasca jajak sisi lain, pemerintah sampai saat ini belum mau meratifikasi Statuta Roma yang menjadi dasar pendirian International Criminal Court. ICC ini sendiri adalah pengadilan internasional permanen yang menuntut orang-orang yang dituduh melakukan kejahatan serius di tingkat Berwenang mengadili kejahatan paling serius yang terdiri dari empat jenis, yaitu kejahatan genosida the crime of genocide, kejahatan terhadap kemanusiaan crimes against humanity, kejahatan perang war crimes, dan kejahatan agresi the crime of aggression.Berdasarkan pada uraian latar belakang tersebut di atas, maka artikel ini akan membatasi pembahasan pada perkembangan mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM berat. Latar belakang pembentukan ICC International Criminal Court serta bagaimana hubungan relasional lahirnya Undang-Undang No 26 tahun 2000 dengan lahirnya Statuta Roma 1998 dalam rangka penyelesaian pelanggaran HAM Pengadilan Hak Asasi Manusia Perkembangan peradilan dan pengadilan HAM tidak terlepas dari pemahaman terhadap hukum pidana internasional international criminal law, merupakan hukum yang banyak berkaitan dengan pengaturan tentang kejahatan internasional. Oleh karena itu, menurut Kittichaisaree, hukum pidana mencakup dua dimensi pemahaman yaitu the penal aspects of international law termasuk hukum melindungi korban konflik bersenjata international humanitarian law dan dilain pihak, merupakan the international aspect of national criminal Berkaitan dengan tindak pidana internasional Bassiouni berpendapat bahwa suatu perbuatan melawan hukum internasional dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana internasional kriminalisasi, apabila memenuhi tiga faktor, yaitua the prohibited conduct affect a significent international interest; b the prohibited conduct constitutes an egregious conduct deemed offensive to the common values of the world community; c the prohibited conduct involves more than one state in its planing, preparation, or commision either through the deversity of nationality of its preparators or victims, or because the means employed trenced national boundaries, or because the effects of conduct bear upon an internationally protected interest which not sufficient to fall into either a or b but which requires international criminalization in order to ensure international cooperation for its effective prevention, control and 7 Erlies S. Nurbani, Kewajiban Indonesia Berdasarkan Ketentuan yang Bersamaan Konvensi Jenewa 1949, Jurnal Hukum Jatiswara, Vol. 33 November 2018, hlm. Gwen P. Barnes, The International Criminal Court’s Ineffective Enforcement Mechanisms The Indict-ment of President Omar Al Bashir, Fordham International Law Journal, Volume 34, Issue 6, 2011. hlm. 1588. 9 Muladi, Peradilan Hak Asasi Manusi Dalam Konteks Nasional Dan Internasional, makalah, tanpa tahun, 110 Bassiouni, International Criminal Law Crimes, Vol. Transnational Publisher, Inc., New York, 1986, 173 Kajian Hukum dan Keadilan IUSP-ISSN 2303-3827, E-ISSN 2477-815XTerkait adanya international crimes tersebut maka tantangannya adalah masalah penegakannya. Penegakan hukum pidana internasional mengunakan dua pendekatan, pertama adalah pendekatan tradisional indirect control dan kedua, pendekatan modern direct control.11 Pendekatan tradisional indirect control yaitu penegakan hukum pidana internasional melalui peradilan nasional domestic/ local remedies. Pendekatan jenis ini menggunakan instrumen hukum dan institusi nasional, yaitu penerapan domestic jurisdiction berdasarkan lembaga yurisdiksi sebagai perwujudan dari kedaulatan negara. Berbeda dengan pendekatan tradisional maka pendekatan modern yaitu penegakan hukum pidana internasional melalui instrumen atau institusi hukum internasional atau melalui forum pengadilan internasional. Forum pengadilan internasional baru diterapkan terhadap tindak pidana internasional tertentu dan bersifat ad hoc. Misalnya pengadilan terhadap penjahat perang pada waktu perang dunia kedua yaitu mahkamah militer nuremburg Military International Tribunal/ Nuremburg Incichment dan mahkamah tokyo piagam mahkamah militer internasional untuk timur jauh Charter Of International Military Tribunal For The Far East, International Criminal Tribunal for Former Yugoslavia ICTY, serta International Criminal Tribunal for Rwanda ICTR, sedangkan mahkamah peradilan internasional yang permanen adalah International Criminal Court ICC. 1. Lahirnya International Criminal CourtMahkamah Pidana Internasional International Criminal Court-ICC didirikan berdasarkan Statuta Roma yang diadopsi pada tanggal 17 Juli 1998 oleh 120 negara yang berpartisipasi dalam “United Nations Diplomatic Conference on Plenipotentiaries on the Establishment of an International Criminal Court” di kota Roma, awalnya usaha untuk membentuk pengadilan pidana internasional merupakan topik yang secara intensif didiskusikan dalam simposium yang diselenggarakan oleh the international Association of Penal law dalam kerangka the fifth UN Congress on the Prevention of Crime and The Treatment of Offenders yang diselenggarakan di jenewa tanggal 5 September 1975. Pada saaat dibahas tinjauan historis bahwa proposal pertama sudah diajukan pada tahun Banyak kemajuan dicapai sejak 1992, di mana Majelis Umum menanyakan kembali kepada ILC mengenai pengerjaan draft statuta, tapi banyak negara-negara kembali skeptis, dan ada beberapa yang menentang. Debat dalam ILC dimana dilakukan diseluruh putaran hingga Kemudian puncak perkembangan ICC tersebut yaitu pada United Nations diplomatic Conference of Plenipotentiaries on The establishment of an International Criminal Court15 di Roma Italia telah mensahkan Statute for International Criminal Court. Konferensi tersebut telah mensahkan Statuta Roma melalui voting dengan perbandingan suara 120 setuju, 7 menolak, dan 21 abstain termasuk indonesia. Statuta ini dinyatakan berlaku apabila telah diratifikasi oleh setidak-tidaknya 60 Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional pada Pasal 5 Statuta mengatur kewenangan untuk mengadili kejahatan paling serius yang mendapatkan perhatian 11 Oentoeng Wahjoe, Pengadilan Hak Asasi Manusia HAM Ad Hoc Dalam Penegakan Hukum Pidana Internasional, Jurnal Hukum Pro Justitia, Oktober 2008, Volume 26 hlm. Indonesia Menuju Ratifikasi Statuta Roma Tentang Mahkamah Pidana Internasional, Kertas Kerja Tahun 2008, hlm. 13 Muladi, Pengadilan Pidana Bagi pelanggar HAM Berat di Era Demokratisasi, Jurnal Demokrasi dan HAM, vol, 1 Mei Agustus 2000, Robert Cryer, Prosecuting International Crimes Selectivity and the International Criminal Law Re-gime, New York Cambridge University Press, hlm. Pada forum ini pemerintah Indonesia mengirim Prof Dr Muladi,SH. Sebagai ketua delegasi Republik Indonesia pada Penipotentiaries Conference of the establishment of The International Criminal Court. Jurnal IuS Vol VII Nomor 1 April 2019 hlm, 174 Kajian Hukum dan Keadilan IUS174~181internasional. Kejahatan yang dimaksud terdiri dari empat jenis, yaitu kejahatan genosida the crime of genocide, kejahatan terhadap kemanusiaan crimes against humanity, kejahatan perang war crimes, dan kejahatan agresi the crime of aggression. Berbeda dengan mahkamah internasional sebelumnya yang sifatnya ad hoc, seperti International Criminal Tribunal for fomer Yugoslavia ICTY dan International Criminal Tribunal for Rwanda ICTR, Mahkamah Pidana Internasional merupakan pengadilan yang permanen Pasal 3 1 Statuta Roma. Mahkamah ini hanya berlaku bagi kejahatan yang terjadi setelah Statuta Roma berlaku Pasal 24 Statuta Roma. Mahkamah Pidana Internasional merupakan mahkamah yang independen dan bukan merupakan badan dari PBB karena dibentuk berdasarkan perjanjian multilateral, meskipun dalam beberapa kondisi tertentu ada relasi peran antara Mahkamah dengan PBB Pasal 2 Statuta Roma.Statuta Roma memuat banyak pengaman yang menjamin penyelidikan dan penuntutan hanya dilakukan untuk kepentingan keadilan, bukan kepentingan politik. Meskipun Dewan Keamanan PBB dan negara dapat merujuk kepada Jaksa Penuntut Mahkamah Pidana Internasional, keputusan untuk melaksanakan penyelidikan merupakan wewenang Jaksa Penuntut. Namun, Jaksa Penuntut tidak hanya akan bergantung pada Dewan Keamanan PBB atau rujukan negara saja, tetapi juga akan mendasarkan penyelidikannya berdasarkan informasi dari berbagai sumber. Jaksa Penuntut harus meminta kewenangan dari Pre-Trial Chamber baik untuk melakukan penyelidikan maupun penuntutan dan permintaan tersebut dapat digugat oleh International Criminal Court ICC merupakan salah satu tonggak penting dalam perkembangan penegakan hukum pidana internasional. Keberadaan ICC mengubah secara progresif pola penegakan hukum yang pada awalnya berpola indirect enforcement methods yang mengharuskan negara-negara tertentu untuk meratifikasi konvensi internasional untuk diterapkan melalui mekanisme hukum nasional. Model tersebut kemudian bergeser menuju model direct enforcement model penegakan hukum pidana internasional yang bersifat langsung. Awalnya model penegakan hukum internasional secara eksplisit diterapkan secara ad hoc untuk tempus dan locus deliciti tertentu seperti pengadilan kejahatan internasional bagi bekas Yugoslavia ICTY yang dibentuk pada tahun 1993 dan Pengadilan Kejahatan Internasional bagi Rwanda ICTR yang dibentuk pada tahun 1994. Walaupun kedua bentuk pengadilan tersebut telah cukup efektif berlaku, namun terbentuknya ICC mengembangkan model penegakan hukum pidana internasional langsung yang bersifat permanen dengan prinsip-prinsip yang masih tetap menghormati kedaulatan suatu negara dan asas Yurisdiksi ICCPrinsip yang mendasar dari Statuta Roma ini adalah bahwa ICC “merupakan pelengkap bagi yurisdiksi pidana nasional” Pasal 1. Ini berarti bahwa Mahkamah harus mendahulukan sistem nasional, kecuali jika sistem nasional yang ada benar-benar tidak mampu unable16 dan tidak bersedia unwilling17 untuk melakukan penyelidikan 16 Unable-tidak mampu Pasal 17 3 Pengadilan suatu negara dinyatakan tidak mampu apabila terjadi kegagalan sistem pengadilan nasional, secara menyeluruh ataupun sebagian. Sehingga negara tersebut tidak mampu menghadirkan tertuduh atau bukti dan kesaksian yang dianggap perlu untuk menjalankan proses Unwilling –tidak bersungguh-sungguh Pasal 17 2 Suatu negara dinyatakan tidak mempunyai kesungguhan dalam menjalankan pengadilan apabila 1 Pengadilan nasional dijalankan dalam rangka melindungi pelaku dari tanggung jawab pidana atas kejahatan berat tersebut 2 Terjadi penundaan yang tidak konsisten dengan niat untuk mendapat keadilan; 3 Pengadilan dilakukan secara tidak independen dan memihak, serta tidak konsisten dengan niat untuk mendapatkan keadilan 175 Kajian Hukum dan Keadilan IUSP-ISSN 2303-3827, E-ISSN 2477-815Xatau menuntut tindak kejahatan yang terjadi, maka akan diambil alih menjadi dibawah yurisdiksi Mahkamah Pasal 17.Jika didalami maka pembahasan tentang yuridiksi ICC, maka ICC menganut dua regim yuridiksi,18 yakni jurisdiction sword is so shrap and long dan jurisdiction sword, which is cumbersome and short. Yurisdiksi kriminal ICC secara alamiah the normal ICC jurisdiction hanya berlaku terhadap negara peserta statuta Roma 1998 tentang pembentukan Namun sehubungan dengan adanya peranan DK PBB sebagai trigger mechanism berlakunya yuridiksi ICC, maka sebenarnya yuridiksi ICC berlaku juga kepada negara yang bukan peserta Statuta Roma 1998. Hal ini dijelaskan lebih lanjut dengan mengemukakan pandangan Hans Peter Kaul berkenaan dengan, jurisdictional regime of the statute yang menyatakan, one court is potentially very strong and universal and has a sharp jurisdictional sword with a long outreach. The other court is quite weak and has only a jurisdiction sword, which is cumbersome and Lebih lanjut dinyatakan pada satu sisi ICC mendasarkan pada DK PBB sebagai salah satu triggered jurisdiction berdasarkan Pasal 13b Statuta Roma 1998, di mana dalam Statuta Roma dimana dalam Statuta Roma 1998 terkandung the jurisdiction regime of a permanent ad hoc tribunal yang hanya dapat dijalankan oleh DK PBB khususnya oleh anggota tetap. Dalam hal ini yang diperlukan adalah penyerahan resolusi oleh DK PBB berdasar Bab VII Piagam PBB dan berdasarkan resolusi tersebut DK PBB menyerahkan kasus pelanggaran HAM berat pada ICC. Pada kasus serupa itu tidak diperlukan kondisi penerapan lebih lanjut, tidak ada syarat lebih lanjut yang diperlukan. Dalam situasi tersebut yurisdiksi ICC dikatakan sebagia jurisdiction sword is so sharp and long, terlepas itu dikatakan sebagai jurisdiction sword is so sharp and long, terlepaas itu menyangkut negara peserta atau diluar negara peserta atau oleh jaksa penuntut secara propiu perbedaan mendasar antara pelaksanaan yuridiksi ICC oleh DK PBB dengan negara peserta atau jaksa penuntut ICC, yang membuat yurisdiksi ICC menjadi tidak praktis dan jangkauannya terbatas. Iini disebabkan oleh adanya pembatasan pra kondisi berlakunya yurisdiksi ICC sebagaimana diatur dalam Pasal 12, di mana baik negara teritorial territorial state tempat terjadinya pelanggaran HAM berat atau nationality state harus menjadi negara peserta Statuta Roma 1998 setelah statuta berlaku, maka ICC dapat melaksanakan yuridiksinya hanya berkenaan dengan kejahatan yang dilakukan setelah ratifikasi atau aksesi oleh negara yang bersangkutan, kecuali kalau negara tersebut telah membuat deklarasi. Dari penjelasan mengenai jurisdictional regime of the statute tersebut dapat ditegaskan, triggered jurisdiction oleh negara peserta atau jaksa penuntut, maka yurisdiksi ICC hanya berlaku terhadap negara peserta. 3. Hubungan ICC dengan Pengadilan DomestikTerbentuknya pengadilan pidana internasioanl international criminal court menimbulkan beberapa konsekuensi problematika khususnya yang berkaitan dengan hubungan antara mahkamah pidana internasional ICC dengan peradilan hak asasi manusia yang bersifat domestik. Ringkasnya keberadaan ICC akan berkaitan dengan 18 Ada empat kategori atau pembagian jurisdiksi dalam kerangka kerja International Criminal Court. They cover jurisdictional regimes relating to subject matter the crimes that can be investigated and prosecut-ed, personal individuals who fall under the Court’s scrutiny, territorial where the crimes are committed, and temporal the time frame during which the Court can consider the commission of crimes in any particular situation David Scheffer, The International Criminal Court dalam William A. Schabas and Nadia Bernaz, Routledge Handbook of International Criminal Law, USA Routledge, 2011 hlm. Kartini Sekartaji, Prospek dan Tantangan International Criminal Court, Jurnal Hukum dan pemban-gunan, Nomor 2 tahun XXXIV, April-Juni, 2004, hlm. 9720 Hans Peter Kaul, The International Criminal court Jurisdiction, Trigger mechanism and Relationship to National Jurisdiction, dalam, hlm. 60-62 Jurnal IuS Vol VII Nomor 1 April 2019 hlm, 176 Kajian Hukum dan Keadilan IUS176~181doktrin kedaulatan negara dan imunitas negara yang membentengi perbuatan negara terhadap langkah hukum dari negara yurisdiksi antara pengadilan pidana internasional dengan pengadilan domestik tampak sudah disadari sejak pembentukan mahkamah Nuremburg. Piagam London 8 Agustus 1945 yang menjadi dasar pembentukan mahkamah Nuremburg secara tersirat meletakkan prinsip komplementer, yang pada dasarnya mengatakan bahwa kejahatan internasional sekedar merupakan pelengkap dari pengadilan domestik. Jelaslah ICC bersifat complementary principle. Prinsip pelengkap ini sesuai dengan Pasal 17 Statuta Roma, negara yang bersangkutan unwillingness tidak menghendaki atau unable tidak mampu melakukan pemeriksaan dalam proses pengadilan HAM Mahkamah tidak dimaksudkan untuk menggantikan sistem peradilan yang masih berfungsi, melainkan untuk menyediakan sebuah alternatif untuk mencegah impunity yang disebabkan karena sistem peradilan yang independen dan efektif tidak melihat uraian di atas, hubungan yurisdiksional antar mahkamah kejahatan internasional dengan pengadilan domestik dapat digambarkan sebagai berikut231. Mahkamah kejahatan internasional generasi pertama Mahkamah Nuremburg dan Tokyo sekedar merupakan pelengkap dari pengadilan-pengadilan domestik;2. Mahkamah kejahatan internasional generasi kedua ICTY dan ICTR memiliki yurisdiksi bersama concurrent jurisdiction dengan pengadilan domestik, namun di dalam hubungan seperti itu ditegaskan adanya primacy mahkamah kejahatan Mahkamah kejahatan internasional generasi ketiga ICC pada dasarnya merupakan pelengkap dari pengadilan domestic, namun dalam keadaan tertentu diakui adanya primacy mahakamah kejahatan internasional. Kaitanya dengan tentang instrument nasional untuk menyelesaikan pelanggaran HAM menurut Sigit Riyanto ada dua masalah/ kelemahan serius yang perlu mendapat perhatian yakni; terkait dengan sistem peradilan pidana dan perangkat hukum regulasi yang Kelemahan pertama yang berkaitan dengan sistem peradilan pidana yakni adanya dikotomi peradilan sipil-militer yang kompetensinya didasarkan pada siapa pelakunya subyek dan bukan jenis perbuatan obyek yang diadili oleh masing-masing badan peradilan. Walaupun kompetensi pengadilan militer court martial ini diakui efektif untuk menegakkan pelanggaran-pelanggaran terhadap garis komando dan disiplin ketentaraan. Pada sisi lain kelemahan mendasar juga adalah ketidakmampuan untuk menerapkan prinsip impartial, independent and due process oriented. Ketidakmpuan menerapkan prinsip mendasar tersebut membuat pengadilan tidak mampu mengadili para pelaku dari aparat militer sehingga melanggengkan impunitas apabila terjadi pelanggaran HAM 21 Indriyanto Seno Adji, Pengadilan HAM, Masalah dan Perspektifnya, Jurnal Keadilan Vol. 2, No. 2 Tahun 2002, Jerry Flower, Mahkamah Pidana Internasional, Keadilan Bagi Generasi Mendatang, makalah Lem-baga Studi dan Advokasi Masyarakat, Seri Bahan Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007, hlm. 23 Syachdin, Kewenangan Peradilan Pidana Internasional di Indonesia Menurut Statuta ICC dalam Up-aya Menangani Kejahatan, Jurnal Hukum, Vol. XVII, No. 2. Juni 2007, hlm. 240 24 Sigit Riyanto, Penegakan HAM di Indonesia Beberapa Catatan Kritis, Jurnal Mimbar Hukum, No. 38/VI/2001. hlm. 57-5825 Lihat laporan The United nations Commission On Human Rights Fifty-First Session, 16 January 1996. Di dalam Join Report Of The Special Rapporteur On The Question Of Torture, Mr. Nigel S Rodley, and the Special Rapporteur on Extrajudicial, Summary Or Arbitrary Executions, Mr. Bacre Waly Ndiay, submitted pursuant to Commision on Human Rights Resolutions 1994/37 and 1994/82, Paragraph 107. 177 Kajian Hukum dan Keadilan IUSP-ISSN 2303-3827, E-ISSN 2477-815XKaitannya dengan kelemahan peraturan perundang-undangan ada beberapa hal penting yang harus dikritisi yaitu berkaitan dengan pengadopsian ketentuan Rome Statute 1998 secara parsial. Implikasinya jenis-jenis pelanggaran HAM yang dapat diajukan ke Pengadailan HAM lebih limitative dan selektif yang dapat membuka peluang terjadinya impunitas. Bahkan jenis-jenis pelanggaran tertentu yang terjadi pada masa lalu maupun yang akan dating tidak terjangkau dan pelakunya akan bebas. Kelemahan tersebut semakin diperparah dengan adanya campur tangan kepentingan politik yaitu lewat kesepakatan DPR untuk menentukan ada atau tidak pelanggaran HAM. Ketentuan ini juga telah membuka ruang untuk terjadinya penelikungan kepentingan dan komoditas tergantung pada kepentingan politik. Diterimanya pelanggaran HAM berat sebagai kejahatan internasional yang universal untuk menjamin pelaku tidak bisa lolos dari tuntutan hukum. Untuk melakukan penuntutan di tingkat internasional atas pelaku kejahatan pelanggaran HAM berat tetap memperhatikan kedaulatan atau yuridiksi Negara pelaku kejahatan atau negara wilayah kejahatan itu dilakukan. Karena pada dasarnya pengadilan tingkat internasional sifatnya komplementer complementery principle. Prinsip tersebut kemudian dikembangkan dalam InternationalCriminal Court, sebagai mana dapat dilihat dalam Pasal Preamble dan Dari ketentuan-ketentuan tersebut di atas dapat disimpulkan1. Primacy, dalam mengadili pelaku pelanggaran HAM berat ada pada pengadilan nasional. Kewenangan mengadili ICC tidak dapat dilakksanakan karena proses peradilan ditingkat nasional sedang atau telah ICC mempunyai kewenangan mengadili bila negara atau peradilan nasional “unwillingness atau inability;3. ICC tidak dirancang untuk mengganti peradilan nasional, tetapi untuk melengkapi ICC hanya akan bertindak segai jaring pengaman, apabila sistem peradilan nasional collepsed atau secara politis terjadi konpromi dengan kejahatan-kejahatan tersebut;4. Pada hakekatnya ICC dirancang sebagai suatu badan peradilan supranasional yang independen, karena diberi wewenang untuk menilai dan menentukan adanya unwillingness atau inability’ dari peradilan nasional suatu ICC dengan yurisdiksi sistem peradilan pidana nasional bersifat komplementer. Hal ini mengandung arti, bahwa suatu kasus tidak dapat diterima inadmissible apabila28a. kasus tersebut sedang disidik dan dituntut oleh negara yang memiliki yurisdiksi, kecuali negara tersebut sungguh-sungguh tidak mau atau tidak mampu melakukan penyidikan dan penuntutan;b. kasus tersebut telah disidik oleh negara yang memiliki yurisdiksi dan negara tersebut telah memutuskan untuk tidak menuntut si pelaku, kecuali keputusan tersebut sebagai akibat ketidakmauan atau ketidakmampuan negara yang sungguh-sungguh untuk menuntut;c. si pelaku telah diadili atas dasar perbuatan yang sama, kecualui terjadi apa yang dinamakan “peradilan pura-pura” sham proceeding proses peradilan dimaksudkan untuk tujuan melindungi si pelaku dari pertanggungjawaban pidana atas kejahatan di bawah yurisdiksi ICC; atau proses peradilan tidak dilaksanakan secara merdeka 26 Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, Dan Reformasi Hukum Di Indonesia, The Jakarta Habi-bie Center, 2002, hlm. Harry Purwanto, Persoalan di Sekitar Pelanggaran HAM yang Berat di Indonesia, Jurnal Mimbar Hukum, hlm. ibid Jurnal IuS Vol VII Nomor 1 April 2019 hlm, 178 Kajian Hukum dan Keadilan IUS178~181atau bersifat imparsial sesuai dengan norma-norma “due process” yang diakui oleh hukum internasional serta tidak konsisten dengan tujuan untuk mengadili si pelaku;d. kasus tersebut tidak cukup memadai untuk memberikan pembenaran langkah-langkah tersebut merupakan beberapa kendala yang dihadapi ICC. Oleh Muladi di kemukakan tiga 3 tantangan signifikan yang di hadapi ICC, yaitu 1 Eksepsionalitas exceptionality, seperti yang dilakukan USA; 2 Keamanan security sehubungan dengan berkembangnya ancaman berupa terorisme global yang perlu dimasukkan dalam yurisdiksi ICC dan 3 Enforceability, yang memerlukan kerjasama dan bantuan seluruh negara terutama dalam mengejar pelaku dan menjamin keadilan bagi korban Pengadilan Hak Asasi Manusia di IndonesiaBerdasarkan UU No. 26 Tahun 2000, Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus yang berada dibawah peradilan umum. Pengadilan ini dikatakan khusus karena dari segi penamaan bentuk pengadilannya sudah secara spesifik menggunakan istilah Pengadilan HAM dan kewenangan pengadilan ini juga mengadili kejahatan-kejahatan tertentu yang bersifat khusus didasarkan atas kerakteristik kejahatan yang sifatnya extraordinary sehingga memerlukan pengaturan dan mekanisme yang juga sifatnya yang berbeda atau khusus30 ini mulai sejak tahap penyelidikan dimana yang berwenang adalah Komnas HAM sampai pengaturan tentang majelis hakim dimana komposisinya berbeda dengan pengadilan pidana biasa. Dalam pengadilan HAM ini komposisi hakim adalah lima orang yang mewajibkan tiga orang diantaranya adalah hakim ad hoc. Namun, meskipun terdapat kekhususan dalam penangannya, hukum acara yang digunakan, masih menggunakan hukum acara pidana terutama prosedur pembuktiannya. Pengadilan HAM ini juga mengatur tentang kekhususan penanganan terhadap kejahatan-kejahatan yang termasuk gross violatioan of human rights dengan menggunakan norma-norma yang ada dalam hukum internasional. Norma-norma yang diadopsi itu diantaranya adalah mengenai prinsip tanggung jawab individual Individual Criminal Responsibility yang dielaborasi dalam ketentuan dalam UU No. 26 Tahun 2000 dalam pasal 1 ayat 4. Tanggung jawab indvidual ini ditegaskan bahwa tanggung jawab dikenakan terhadap semua orang namun tidak dapat dikenakan kepada pelaku yang berusia dibawah 18 tahun. Ketentuan ini sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Statuta Roma yang juga mengatur tentang tangung jawab individual31 dan pembatasan atas tanggung jawab atas keadaan Muladi, Statuta Roma Tahun 1998 Tentang Mahkamah Pidana Internasional dalam Kerangka Hu-kum Pidana Internasional dan Implikasinya Terhadap Hukum Pidana Nasional, Bandung Alumni, 2011, hlm. 12230 Penjelasan dalam UU No. 26/2000 menyatakan bahwa kekhususan penanganan perkara pelangga-ran HAM yang berat dalam pengadilan HAM ini terdiri atas a diperlukan penyelidik dengan membentuk tim ad hoc, penyidik ad hoc, penuntut umum ad hoc, dan hakim ad hoc, b diperlukan penegasan bahwa penyelidikan hanya dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sedangkan penyidik tidak ber-wenang menerima laporan atau pengaduan sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, c diperlukan ketentuan mengenai tenggang waktu tertentu untuk melakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan, d diperlukan ketentuan mengenai perlindungan korban dan saksi dan e diperlukan ketentuan yang menegaskan tidak ada kadaluarsa bagi pelanggaran hak asasi manusia yang berat31 Pengaturan dalam Statuta Roma 1998 tentang tanggung jawab pidana individual dalam pasal 25, 26 dan 27. Pasal 25 ayat 2 menyatakan bahwa Seseorang yang melakukan kejahatan di dalam jurisdiksi Mahkamah bertanggung jawab secara individual dan dapat dikenai hukuman sesuai dengan Statuta ini. Pasal 25 ayat 4 menyatakan Tidak ada ketentuan dalam Stututa ini yang berkaitan dengan tanggung 179 Kajian Hukum dan Keadilan IUSP-ISSN 2303-3827, E-ISSN 2477-815XBerdasarkan ketentuan UU No. 26 tahun 2000, Pengadilan HAM mengatur tentang yurisidksi atas kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat baik setelah disyahkanya UU ini maupun kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat sebelum disyahkannya UU ini. Prosedur pembentukan pengadilan ini mempunyai perbedaaan yang cukup mendasar. Dalam penanganan kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat setelah disyahkannya UU ini tanpa melalui rekomendasi dan keputusan presiden sebagaimana dalam pembentukan pengadilan HAM ad pembentukan pengadilan HAM adalah berdasarkan adanya dugaan telah terjadi kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Dugaan adanya kasus pelanggaran ini kemudian diselidiki oleh Komnas HAM dengan membentuk komisi Penyelidikan Pelanggaran HAM KPP HAM. Hasil penyelidikan, jika ditemukan bukti bahwa terdapat dugaan adanya pelanggaran HAM yang berat maka akan dilimpahkan ke Kejaksaan Agung untuk dilanjutkan ke tahap penyidikan, dalam tahap ini kalau dari hasil penyidikan menunjukkan adanya pelanggaran HAM yang berat maka diteruskan untuk tahap penuntutan yang juga di lakukan oleh Kejaksaan Agung. Berdasarkan bukti-bukti dan penuntutan yang diwujudkan dalam surat dakwaan, kemudian digelar pengadilan HAM berdasarkan kompetensi relatif pengadilan. Tempat pengadilan ini berada di pengadilan negeri dimana locus dan tempos delictie terjadinya pelanggaran HAM yang pembentukan pengadilan HAM setelah disyahkannya UU ini adalah Pengadilan HAM Abepura yang disidang di Pengadilan Negeri Makassar. Kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Abepura Papua terjadi pada tanggal 7 Desember 2000, yang kemudian oleh Komnas HAM di tindaklanjuti dengan melakukan penyelidikan pro yustisia pada tanggal 5 Februari Keberadaan international criminal court dengan diratifikasinya Statuta Roma oleh beberapa negara merupakan kemajuan dalam penegakan hukum pidana internasional. International criminal court mempunyai kewenangan untuk memeriksa beberapa jenis kejahatan yang tergolong luarbiasa. extra ordinary crimes seperti genosida, kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan dan agresi. Kehadiran international criminal court juga merubah pola penegakan hukum pidana internasional yang semula indirect enforcement menuju pada model direct itu juga international criminal court dalam kaitanya dengan yurisdiksi bersifat komplementer. Artinya icc akan menjadi pelengkap atau alterantif jika peradilan suatu negara menunjukan ketidakmampuan dan ketidakinginan untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat. Jika dikaitkan dengan konteks Indonesia maka keberadaan jawab pidana individual akan mempengaruhi tanggung jawab negara berdasarkan hukum internasional. Pasal 26 Mahkamah tidak mempunyai jurisdiksi atas seseorang yang berumur kurang dari delapan belas tahun pada saat dilakukannya suatu kejahatan yang dilaporkan. Pasal 27 ayat 1 menyatakan bahwa Statu-ta ini berlaku sama terhadap semua orang tanpa suatu perbedaan atas dasar jabatan resmi. Secara khu-sus, jabatan resmi sebagai seorang Kepala Negara atau Pemerintahan, anggota suatu Pemerintahan atau parlemen, wakil terpilih atau pejabat pemerintah dalam hal apa pun tidak mengecualikan seseorang dari tanggung jawab pidana di bawah Statuta ini, demikian pula dalam dan mengenai dirinya sendiri, tidak merupakan suatu alasan untuk mengurangi hukuman. Selain diatur dalam Statuta Roma, pertanggung-jawaban pidana secara indvidual ini juga telah ada dalam beberapa instrumen hukum internasional mis-alnya the Genocide Convention dalam Article IV yang menyatakan ..”persone committing genocide….shall be punished, wether they are constitutionally responsible rules, public officials, or private individ-uals.” Demikian pula dalam the Apartheid Convention dalam article III menyatakan bahwa ..” individual criminal responsibility shall apply … to individuals, members of organizations and institutions and represen-tatives of the state… .” Selain itu dalam pasal 7 ICTY dan pasal 6 ICTR juga mengatur tentang tanggung jawab pidana secara individual. Jurnal IuS Vol VII Nomor 1 April 2019 hlm, 180 Kajian Hukum dan Keadilan IUS180~181international criminal court dengan mendasarkan statuta roma akan mendukung sepenuhnya proses peradilan HAM yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang menjadi bagian dari sistem penegakan hukum pidana PUSTAKABukuM. Cherif Bassiouni, 1986. International Criminal Law Crimes, Vol. Transnational Publisher, Inc., New York. Muladi, 2011. Statuta Roma Tahun 1998 Tentang Mahkamah Pidana Internasional dalam Kerangka Hukum Pidana Internasional dan Implikasinya Terhadap Hukum Pidana Nasional, Bandung 2002. Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, Dan Reformasi Hukum Di Indonesia, The Jakarta Habibie Center. Robert Cryer, 2004. Prosecuting International Crimes Selectivity and the International Criminal Law Regime, New York Cambridge University A. Schabas and Nadia Bernaz, Routledge Handbook of International Criminal Law, USA Rokhmad, A. 2005. HAM dan Demokrasi di Era Globalisasi Menuju Promosi dan Perlindungan HAM Generasi Kedua. Jurnal Hukum, 153.Nurbani, E. S. 2018. KEWAJIBAN INDONESIA BERDASARKAN KETENTUAN YANG BERSAMAAN KONVENSI JENEWA 1949. Jurnal Jatiswara, 333, G. P. 2010. The International Criminal Court’s Ineffective Enforcement Mechanisms The Indictment of President Omar Al Bashir. Fordham Int’l LJ, 34, H. 2001. Persoalan Di Sekitar Pelanggaran HAM Yang Berat Di Indonesia. Yogyakarta, Media Hukum No, I. S. 2014. PENGADILAN HAM, MASALAH & PERSPEKTIFNYA. [28] JURNAL KEADILAN, 22.Jerry Flower, 2007. Mahkamah Pidana Internasional, Keadilan Bagi Generasi Mendatang, makalah Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Seri Bahan Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara K. L. 2001. Tak ada Jalan Pendek Menuju Rekonsiliasi. Jurnal Demokrasi dan HAM, Jakarta ID Sekartaji, 2004. Prospek dan Tantangan International Criminal Court, Jurnal Hukum dan pembangunan, Nomor 2 tahun XXXIV, M. P. 2007. Perlindungan Hak Asasi Manusia di Indonesia dalam Dinamika Global. Mimbar Hukum, 192007.Muladi, 2000, Pengadilan Pidana Bagi pelanggar HAM Berat di Era Demokratisasi, Jurnal Demokrasi dan HAM, Vol, 1 Mei-Agustus. 181 Kajian Hukum dan Keadilan IUSP-ISSN 2303-3827, E-ISSN 2477-815X-, Peradilan Hak Asasi Manusi Dalam Konteks Nasional Dan Internasional, makalah, tanpa tahun, Wahjoe, O. 2008. Pengadilan Hak Asasi Manusia ad hoc Dalam Penegakan Hukum Pidana Internasional. Jurnal Hukum Pro Justitia, 264.Satjipto Rahardjo, 2004. Hak Asasi Manusia dalam Masyarakatnya, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 7, 2007. Kewenangan Peradilan Pidana Internasional di Indonesia Menurut Statuta ICC dalam Upaya Menangani Kejahatan, Jurnal Hukum, Vol. XVII, No. 2. S. 2001. Penegakan HAM Di Indonesia Beberapa Catatan Kritis. Yogyakarta, Majalah Mimbar Hukum No, 38. ... Negara harus melakukan upaya untuk menjamin kembali hak-hak para korban dan keluarganya. Negara memiliki tanggung jawab untuk menjamin terbentuknya kualitas peradaban yang lebih baik dengan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat di masa lampau Ufran, 2019. Upaya negara dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat dilakukan dengan membentuk tim ad hoc yang terdiri dari Komnas HAM dan unsur masyarakat Nugraha, Madina, & Dika, 2019 ...... Statuta Roma yang disahkan oleh Konferensi Diplomatik Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 17 Juli 1998 digunakan untuk membentuk Mahkamah Pidana Internasional. Statuta Roma mengatur kewenangan untuk mengadili kejahatan paling serius yang mendapatkan perhatian internasional Ufran, 2019. Pasal 5 ayat 1 Statuta Roma menjelaskan bahwa yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional berkaitan dengan kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi. ...Andhika Yudha PratamaThis study aimed to analyze gross human rights violations in Indonesia, the implementation of Law Number 26 of 2000 concerning the Ad Hoc Human Rights Court, and the challenges of ad hoc human rights courts in resolving gross human rights violations in Indonesia. This study applied normative and empirical legal research with a case study approach. The researcher collected data from primary and secondary data resources. Data collection techniques were carried out by reviewing, studying, and categorizing. The analysis procedure started with data inspection techniques, data marking, and drawing conclusions. The study results showed that the provision of gross human rights violations in Indonesia was adopted from the Rome Statute. However, the implementation of Law Number 26 of 2000 concerning the Ad Hoc Human Rights Court was still limited to the judicial process of the cases of Timor-Timur and Tanjung Priok. The challenges of ad hoc human rights courts include the less than optimal role of Law Number 26 of 2006, legal aspects of the legislation that were not accompanied by procedural law procedures, law enforcement officers who did not work optimally, as well as political, social, and cultural factors that weaken law enforcement at the national level.... Adapun peirhal dalam eksistensi pengadilan pidana internasional, selain sebagai sebuah Mahmakah Pidana, juga memberikan dampak terhadap pola penegakan hukum pidana internasional yang semula indirect enforcement menuju model direct enforcement. Hal inilah yang jika dikaitkan dengan konteks Negara Indonesia, keberadaannya menjadi sumber pendukung terhadap proses pelanggaran hak asasi manusia yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Ufran, 2019. ...... Lahirnya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tersebut, menjembatani politik hukum Indonesia, dimana pemerintah seolah ingin mengubah citra buruk dimata internasional, yang selama ini memberikan statement bahwa Indonesia tidak mampu dalam menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM berat yang pernah terjadi di masa lalu. Bahkan tak hanya disana, keberadaan peraturan perundangundangan tersebut dianggap sebagai upaya nyata Indonesia untuk menghindarkan diri dari campur tangan internasional dalam urusan domestik terkait dengan kejahatan kemanusiaan Ufran, 2019. ...Linda NoviantiBerbagai generasi sudah pasti mewarisi sejarah dan tidak akan pernah bisa melupakan petaka berdarah kerusuhan Mei 1998. Meskipun generasi milenial seperti era masa kini tidak turut berperan pada masa itu, namun dengan membaca sejarahnya, tentu dapat mengundang perasaan mengerikan tatkala membayangkannya. Terkait Etnis Cina misalnya, yang dikejar-kejar, dipukuli, dianiaya, dibunuh secara keji, bahkan diperkosa ramai-ramai. Barang dagangan dalam ruko-ruko milik mereka dijarah, lalu dibakar. Sepertinya tidak terhitung banyaknya rumah, ruko, mall, gedung perkantoran, bahkan sarana olahraga yang dibakar massa saat kerusuaan tersebut terjadi. Adapun mengenai metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode dekriptif, dengan hasil analisis bahwa perlindungan atas hak minoritas beberapa upayanya, dapat dilakukan dengan pemenuhan kewajiban serta ikrar dari berbagai negara seperti halnya yang tercantum dalam perjanjian internasional, memberikan pertimbangan terhadap berbagai kepentingan kaum minoritas dalam rangka pengembangan kebijaksanaaan, serta menyokong pemahaman kebudayaan, tradisi dan bahasa kaum minoritas yang berada pada wilayah tertentu dengan mengulurkan jaminan anggota kelompok minoritas juga memiliki kesempatan yang sama secara menyeluruh. Sementara itu, mengenai prinsip dasar hukum hak minoritas merupakan panduan bagaimana negara mengatur dan memenuhi hak-hak kelompok minoritas. Aturan-aturan tersebut meliputi produk hukum nasional, upaya ratifikasi terhadap konvensi dan kovenan internasional yang berhubungan dengan hak-hak kelompok minoritas di Indonesia. Kemudian mengenai politik hukum Indonesia yang berkaitan dengan Statuta Roma dalam menangani pelanggaran hak minoritas, diantaranya lahir Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000, sebagai jembatan politik hukum Indonesia, dimana keberadaan peraturan perundang-undangan tersebut dianggap sebagai upaya nyata Indonesia untuk menghindarkan diri dari campur tangan internasional dalam urusan domestik terkait dengan kejahatan kemanusiaan.... The ICC is an independent organization, with its own organizational structure outside the United Nations, with funding based on contributions from participating countries in the 1998 Rome Statute Art 4 1 of the Rome Statute, 1998.Based on the basic principle of the Rome Statute, the ICC is a complement to national criminal jurisdiction article 1, namely that the Court must give priority to the national system, unless the current national system is completely incapable unnable and unwilling unwilling to conduct investigations or prosecute not the crimes that have occurred, it will be taken over under the jurisdiction of the Court Article 17. The jurisdiction or jurisdiction of the ICC is limited by a number of articles, in particular the subject of law tried or matters under its jurisdiction rationae personae, including government officials, only military and civilian commandsUfran, 2019. Furthermore, the jurisdiction of the ICC includes crimes that are the most serious crimes in the eyes of the international community, as provided in Article 58 of the Rome Statute of 1988, ...Neni RakhmawatiRodrigo Duterte who has ordered the police to execute drug addicts who do not want to be arrested. However, the assailant was still shot despite surrendering to arrest, the police on behalf of the anti-drug unit went to people's homes and did so because of the policy of "who gets killed, the police get paid". The crime that has been committed by Rodrigo Duterte under ICC jurisdiction is giving orders. to the police and the public to carry out extrajudicial killings of individuals involved in narcotics and to protect those who carry out their orders, so that Rodrigo Duterte is judged guilty and responsible in accordance with Article 25 paragraph 3 b, c, d the Rome Statute Crimes against humanity are among the criminal jurisdictions of the ICC. Although the Philippines withdrew from the Rome Statute, it did not prevent the International Criminal Court ICC from reviewing the case involving Philippine President Rodrigo Duterte. The Rome Statute provides for withdrawals, in particular article 127 , paragraphs 1 and 2 of the 1998 Rome Statute. Gde Made SwardhanaThe human rights law is not identical with international humanitarian law. This article attempts to explore both the relation and the difference between gross human rights violation and violation of international humanitarian law. While, for Indonesia context, crimes against humanity was arranged in the Human Rights Court Law, however, it is still raise discourses related with the limitation of crime against humanity that different with international law instruments, and it also raises problem for Judges and Human Rights Court to define the crimes against humanity as the legal ground for several gross violation of human rights that adjudicate within this framework. This article use normative legal research method to conduct, analyze, and arrange crime against humanity formulation with statutory law approach, legal conceptual approach, and legal cases approach. This article concluded with the limitation that highlighted whether gross human rights violation can be prosecuted and punished using international humanitarian law. This article also stressing normative and conceptual aspect related with development of crimes against humanity, its element of crime and its application by judicial system. Vavirotus SholichahMahasiswa ProdiIlmu HukumFakultas HukumABSTRAK Pelanggaran Hak Asasi Manusia HAM tentu dapat dilakukan oleh setiap orang maupun kelompok, baik pada saat kondisi damai, konflik SARA suku, agama, ras, dan antar golongan, konflik bersenjata maupun kejahatan perang war crimes. Perbuatan yang melanggar HAM sangat merugikan bagi jiwa dan harta benda orang lain karena dilakukan dengan kekerasan fisik, psikis, bahkan menyerang psikologis manusia. Salah satu perbuatan yang melanggar HAM tersebut dikenal dengan kejahatan perang war crimes. Perang adalah kondisi dimana salah satu pihak menundukkan lawannya untuk memenuhi keinginannya, suatu tindakan fisik atau non fisik antara dua atau lebih kelompok manusia bertujuan untuk menguasai. Hukum pidana internasional adalah "hukum yang menentukan hukum pidana nasional apa yang akan diterapkan pada pelanggaran benar-benar dilakukan jika mengandung unsur internasional ". Dalam konteks hukum pidana internasional, Mahkamah Pidana Internasional merupakan pengadilan permanen yang dibentuk oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa berdasarkan Statuta Roma 1998. Pengadilan ditetapkan sebagai instrumen untuk menuntut orang yang melakukan kejahatan internasional. Kata kunci kejahatan perang war crimes, hukum pidana internasional. ABSTRACT Violations of Human Rights HAM can certainly be committed by any person or group, both during times of peace, racial and inter-group conflicts, armed conflicts and war crimes. Acts that violate human rights are very detrimental to the lives and property of others because they are carried out with physical, psychological, and even psychological attacks on humans. One of the acts that violates human rights is known as war crimes war crimes. War is a condition in which one party subdues his opponent to fulfill his wish, a physical or non-physical act between two or more groups of people with the aim of controlling. International criminal law is "the law that determines what national criminal law will be applied to violations actually committed if Brown'The Research Handbook is a comprehensive up-to-date guide to one of the youngest yet most dynamic areas of international law. It tackles the pertinent challenges and opportunities, starting with the classical issues like categories of international crimes and complementarity, going on to address the problems ahead including the Guantanamo regime, crimes against women and the status of private security contractors. The Handbook will be a valuable source for both general and advanced international criminal law research.' - James Crawford, Cambridge University, CryerThis 2005 book discusses the legitimacy of the international criminal law regime. It explains the development of the system of international criminal law enforcement in historical context, from antiquity through the Nuremberg and Tokyo Trials, to modern-day prosecutions of atrocities in the former Yugoslavia, Rwanda and Sierra Leone. The modern regime of prosecution of international crimes is evaluated with regard to international relations theory. The book then subjects that regime to critique on the basis of legitimacy and the rule of law, in particular selective enforcement, not only in relation to who is prosecuted, but also the definitions of crimes and principles of liability used when people are prosecuted. It concludes that although selective enforcement is not as powerful as a critique of international criminal law as it was previously, the creation of the International Criminal Court may also have narrowed the substantive rules of international criminal P BarnesPart I introduces the Rome Statute and highlights the portions of the Rome Statute that leave the ICC vulnerable to member states that violate the Rome Statute without any clear punishment for the violation. In particular, Part I focuses on the expansive jurisdiction and the limited enforcement mechanisms that the Rome Statute bestows upon the ICC. Part II illustrates the ICC's vulnerability under the Rome Statute by using the example of the ICC's indictment of President Al Bashir and examining the existing tension between the ICC and the African Union "AU". Part III argues that the ICC must strengthen or expand its enforcement mechanisms in order to become a legitimate force in the international forum. It suggests three possible ways to reach this goal suspension, expulsion, and implementation of United Nations "UN" Security Council Jurnal RokhmadJurnal Rokhmad, A. 2005. HAM dan Demokrasi di Era Globalisasi Menuju Promosi dan Perlindungan HAM Generasi Kedua. Jurnal Hukum, 153.E S NurbaniKewajibanYang Berdasarkan KetentuanBersamaanJenewaNurbani, E. S. 2018. KEWAJIBAN INDONESIA BERDASARKAN KETENTUAN YANG BERSAMAAN KONVENSI JENEWA 1949. Jurnal Jatiswara, 333, Di Sekitar Pelanggaran HAM Yang Berat Di IndonesiaH PurwantoPurwanto, H. 2001. Persoalan Di Sekitar Pelanggaran HAM Yang Berat Di Indonesia. Yogyakarta, Media Hukum No, Pidana InternasionalJerry FlowerJerry Flower, 2007. Mahkamah Pidana Internasional, Keadilan Bagi Generasi Mendatang, makalah Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Seri Bahan Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara ada Jalan Pendek Menuju RekonsiliasiK L SupelliSupelli, K. L. 2001. Tak ada Jalan Pendek Menuju Rekonsiliasi. Jurnal Demokrasi dan HAM, Jakarta ID dan Tantangan International Criminal Court, Jurnal Hukum dan pembangunan, Nomor 2 tahun XXXIVKartini SekartajiKartini Sekartaji, 2004. Prospek dan Tantangan International Criminal Court, Jurnal Hukum dan pembangunan, Nomor 2 tahun XXXIV, Hak Asasi Manusia di Indonesia dalam Dinamika GlobalM P GunartoGunarto, M. P. 2007. Perlindungan Hak Asasi Manusia di Indonesia dalam Dinamika Global. Mimbar Hukum, 192007. ArticlePDF Available AbstractInternational law in its development moves dynamically according to international community interactions. In the development of international law has spawned an international organization, namely the United Nations UN. International courts relating to the UN status. The UN has laid the framework of the kosnstitusionic on the underlying instrument of the Charter with the determination of all the members of the UN to avoid the recurrence of World War threats that have twice occurred and have caused A threat to all mankind. THE un-formed International Criminal Court is backed by many demands for justice for its extraordinary crimes the most serious crime. The International Criminal Court aims to end impunity for perpetrators of gross human rights violations and to give a share of the prevention of the most serious crimes against human rights under international law, as well as Ensure international justice and support the achievement of objectivesof the United Nations Charter principles. Based on the description the problem that will be discussed in this article is the role and authority of THE International Organization PBB in maintaining international peace and security in resolving the problems that Conducted by the International Criminal Court ICC.This Writing uses legal research methods is normative with the research of secondary data and described descriptively. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for freeContent may be subject to copyright. 251 S A S I Vo l . 2 6 N o . 2 , A p r i l - J u n i 2 0 2 0 S A S I Volume 26 Nomor 2, April - Juni 2020 h. 251 - 265 p-ISSN 1693-0061 e-ISSN 2614-2961 Jurnal Terakreditasi Nasional, SK. No. 28/E/KPT/2019Peran Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam Kaitannya dengan Penegakan Hukum Oleh Mahkamah Pidana Internasional Prospek dan Tantangan Novy Septiana Damayanti Program Magister Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, Indonesia E-mail novy18002 Keywords Enforcement of law; UN; International Criminal Court. International law in its development moves dynamically according to international community interactions. In the development of international law has spawned an international organization, namely the United Nations UN. International courts relating to the UN status. The UN has laid the framework of the kosnstitusionic on the underlying instrument of the Charter with the determination of all the members of the UN to avoid the recurrence of World War threats that have twice occurred and have caused A threat to all mankind. THE un-formed International Criminal Court is backed by many demands for justice for its extraordinary crimes the most serious crime. The International Criminal Court aims to end impunity for perpetrators of gross human rights violations and to give a share of the prevention of the most serious crimes against human rights under international law, as well as Ensure international justice and support the achievement of objectivesof the United Nations Charter principles. Based on the description the problem that will be discussed in this article is the role and authority of THE International Organization PBB in maintaining international peace and security in resolving the problems that Conducted by the International Criminal Court ICC.This Writing uses legal research methods is normative with the research of secondary data and described descriptively. Kata Kunci Penegakkan Hukum; PBB; Mahkamah Pidana Internasional. Hukum internasional dalam perkembangannya bergerak secara dinamis sesuai dengan interaksi masyarakat internasional. Dalam perkembangan hukum internasional telah melahirkan suatu organisasi internasional, yaitu Perserikatan Bangsa-Bangsa PBB. Mahkamah internasional berkaitan dengan status PBB. PBB telah meletakkan kerangka kerja konstitusionalnya pada instrumen pokok yaitu Piagam dengan tekad semua anggota PBB untuk menghindari terulangnya ancaman perang dunia yang pernah dua kali terjadi dan telah menimbulkan ancaman bagi seluruh umat manusia. International Criminal Court yang dibentuk oleh PBB dilatarbelakangi oleh banyaknya tuntutan akan keadilan bagi kejahatan yang luar biasa kejamnya the most serious crime. Mahkamah Pidana Internasional bertujuan untuk mengakhiri impunitas bagi pelaku pelanggaran berat hak asasi manusia dan memberikan andil bagi pencegahan terjadinya kejahatan paling 252 S A S I Vo l . 2 6 N o . 2 , A p r i l - J u n i 2 0 2 0 serius terhadap hak asasi manusia menurut hukum internasional, serta menjamin keadilan internasional dan mendukung pencapaian tujuan dari prinsip Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa. Berdasarkan uraian tersebut permasalahan yang akan dibahas dalam artikel ini adalah peran dan kewenangan organisasi internasional PBB dalam menjaga perdamaian dan keamanan internasional dalam menyelesaikan permasalahan yang dilakukan oleh mahkamah pidana internasional ICC. Penulisan ini menggunakan metode penelitian hukum yuridis normatif dengan penelitian dari data sekunder dan dijelaskan secara deskriptif. A. PENDAHULUAN Organisasi internasional, secara sederhana, dapat didefinisikan sebagai bentuk kerjasama internasional yang melembaga antara negara-negara, umumnya berlandaskan suatu persetujuan untuk melaksanakan fungsi-fungsi yang diberi manfaat timbal balik melalui pertemuan-pertemuan serta kegiatan-kegiatan staf secara organisasi internasional, menurut pengertian sederhana tersebut mencakup adanya tiga unsur, yaitu1 Keterlibatan negara dalam suatu pola kerjasama 2 Adanya pertemuan-pertemuan secara berkala 3 Adanya staf yang bekerja sebagai “pegawai sipil internasional” Perserikatan Bangsa-Bangsa atau disingkat PBB merupakan sebuah organisasi internasional yang anggotanya hampir seluruh negara di dunia. PBB merupakan salah satu organisasi internasional dengan anggota mencapai 193 negara hingga saat ini. Keberadaan PBB adalah sebagai suksesor atau pengganti organisasi universal sebelumnya yaitu liga dari terbentuknya organisasi ini adalah untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional, mengembangkan hubungan persahabatan antar bangsa-bangsa, mengadakan kerjasama internasional guna memecahkan persoalan-persoalan internasional di bidang ekonomi, sosial, kebudayaan atau yang bersifat kemanusiaan, dan menjadi pusat bagi penyelarasan segala tindakan seluruh bangsa dalam mencapai tujuan Criminal Court” ICC, termasuk hukum Internasional di sini merujuk pada suatu realitas ”lembaga hukum” yang bersifat permanen dan mandiri berbentuk pengadilan atau mahkamah pidana. Digagas dan dibentuk oleh PBB, dan oleh Statuta Roma 1998 tentang Pembentukan ICC diberikan kewenangan untuk menyelidiki, mengadili, dan memidana individu tanpa memandang official capacity' yang dimiliki oleh individu tersebut di dalam negara untuk membentuk Pengadilan Pidana Internasional International Criminal Court/ICC telah dimulai 50 tahun yang lalu untuk mengadili pelanggaran HAM berat seperti "genocide". Hal ini nampak dari Resolusi Majelis Umum PBB No. Rudy, T. M. 2011. Hukum Internasional 2. Bandung Refika Aditama, h. 93 Widodo. 2017. Hukum Internasional Publik. Yogyakarta Aswaja Pressindo, h. 233 Sefriani, 2016. Peran Hukum Internasional Dalam Hubungan Internasional Kontemporer. Jakarta Rajawali Pers, h. 200 Gunakaya, W. 2013. “Peranan Dan Prospek ”International Criminal Court” Sebagai International Criminal Policy Dalam Menanggulangi ”Internasional Crimes”. Jurnal Wawasan Hukum, 29 2, h. 2 253 S A S I Vo l . 2 6 N o . 2 , A p r i l - J u n i 2 0 2 0 260 tanggal 9 Desember 1948, yang mengadopsi "Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide".Dimana ditekankan betapa pentingnya kerjasama internasional untuk membebaskan manusia dari perbuatan-perbuatan kejam dan menyebabkan penderitaan yang luar biasa bagi kemanusiaan. Kerjasama internasional di sini berkaitan dengan usul tentang kemungkinan adanya "international penal tribunal" atau "international judicial organ" dan untuk itu ditugaskan kepada "the International Law Commission" lLC untuk mengkajinya. Kemudian telah terbentuklah apa yang telah dinamakan "the ad hoc International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia" untuk mengadili para pelanggar ham. Dalam sejarah kita telah menyaksikan adanya Pengadilan yang dibentuk setelah Perang Dunia II untuk pengadilan penjahat perang. Pengadilan tersebut adalah pengadilan Nuremberg dan pengadilan Tokyo. Pengadilan Neuremberg dibentuk adanya perjanjian antara sekutu tanggal 8 agustus 1945 dan Pengadilan Tokyo dibentuk tanggal 19 januari 1946. Setelah itu pada peristiwa di bekas negara Yugoslavia dibentuk International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia ICTY yang dibentuk berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan No. 827 tahun 1991. Kemudian pada tahun 1994 Dewan Keamanan dengan Resolusi telah membentuk International Tribunal for Rwanda ICTR. ICTY dan ICTR dibentuk sebagai pengadilan ad-hoc. Pengadilan ad-hoc ini mempunyai mandat yang terbatas waktu dan lama setelah itu ILC telah menyelesaikan Rancangan Statuta ICC dan pada tahun 1994 Rancangan ini disampaikan kepada Majelis Umum PBB. Majelis kemudian membentuk Komite ad hoc untuk pembentukan ICC yang mengadakan rapat dua kali pada tahun 1995. Selanjutnya Majelis Umum membentuk Komite Persiapan "consolidated draft text" dalam rangka konperensi diplomatik. Komite persiapan ini bertemu mulai tahun 1996-1998, Yurisdiksi dan Admissibility Pengadilan Pidana lnternasional pada sidang terakhir bulan Maret dan April 1998 teks Rancangan berhasil disempurnakan. Yurisdiksi kewenangan dari ICC sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Statuta Roma 1998, adalah sebagai berikuta Kejahatan genosida The crime of genocide b Kejahatan kemanusiaan Crimes against humanity c Kejahatan perang War crime d Kejahatan agresi The crime of aggression. Dalam pasal 126 Statuta Roma menyebutkan bahwa untuk dapat berlaku, perlu diratifikasi oleh sekurang-kurangnya 60 negara. Pada 1 Juli 2002 ketentuan pasal itu terpenuhi kemudian pada Februari sampai Juni 2003 telah ditetapkan hakim, penuntut umum, dan ketua panitra. Mulai sejak itu ICC dapat melakukan kegiatan operasional sebagaimana mestinya. Dengan ini menegaskan bahwa ICC memiliki norma hukum positif yang sesungguhnya bukan hanya sekedar norma moral positive morality yang Muladi. 2001. “Yurisdiksi Dan "Adminissbility" Pengadilan Pidana Internasional”. Hukum dan Pembangunan, 4, h. 2 Suwardi, S. S. 2003. “Beberapa Catatan Mahkamah Pidana Internasional International Criminal Court Dalam Kaitannya Dengan Perserikatan Bangsa- Bangsa PBB”. Hukum dan Pembangunan, 33 4, h. 2 Diantha, I. M. P. 2014. Hukum Pidana Internasional Dalam Dinamika Pengadilan Pidana Internasional. Jakarta Kencana Prenada Media Group, h. 66 254 S A S I Vo l . 2 6 N o . 2 , A p r i l - J u n i 2 0 2 0 diharapkan dapat mengikat negara-negara dalam melakukan tugas, fungsi dan kewenangan sesuai dengan tujuan pembentukan pengadilan tetapi terdapat perbedaan dalam prakteknya, ICC masih terhambat dalam pelaksanaan kewenangannya oleh karena beberapa ketentuan, antara lain Pertama, masalah hak veto 5 negara Amerika Serikat, Prancis, Inggris, Federasi Rusia, Cinahal ini didasarkan dalam Statuta Roma pada Pasal 16 dicantumkan ketentuan yang memungkinkan Dewan Keamanan turut campur dalam proses penyelidikan dan penuntutan pelanggaran HAM berat. Contoh penggunaan hak veto ini adalah dalam kasus presiden Sudan yang kemudian terhambat dalam penuntutan padahal diduga telah melakukan kejahatan berat. Amerika Serikat juga dengan hak vetonya menuntut agar pasukan Amerika yang bertugas dalam operasi pasukan penjaga perdamaian diberi kekebalan immunity dari yurisdiksi ICC dengan mengancam memutuskan keterlibatannya dalam pasukan penjaga perdamaian PBB di Bosnia pada 31 Juli 2002 jika hak vetonya tidak diindahkan. Setelah melalui perundingan akhirnya permintaan Amerika dikabulkan dan berhasil mendapatkan penangguhan penyelidikan dan penuntutan dari ICC selama 1 tahun 11 bulan atau sampai operasi penjaga perdamaian Pidana Internasional merupakan pengadilan yang permanen Pasal 31 Statuta Roma. Mahkamah Pidana Internasional merupakan mahkamah yang independen dan bukan merupakan badan dari PBB karena dibentuk berdasarkan perjanjian multilateral, meskipun dalam beberapa kondisi tertentu ada relasi peran antara Mahkamah dengan PBB Pasal 2 Statuta Roma.Perihal dengan penegakkan perdamaian dan keamanan internasional, PBB melalui Dewan Keamanan mempunyai kewenangan dalam hal melakukan penegakkan hukum terhadap kejahatan tindak pidana internasional. Berdasarkan Pasal 13 poin b Statuta Roma, Dewan Keamanan mempunyai referral jurisdiction untuk mengadili orang yang melakukan tindak pidana internasional. Dan juga terdapat deferral jurisdiction Pasal 16 Statuta Roma yang diberikan kewenangan untuk turut serta dalam penegakkan berdasarkan Bab VII Piagam PBB. Dalam kaitannya dengan ICC, meskipun ICC adalah lembaga yang independen, tidak berada di bawah struktur PBB, namun preambul Statuta Roma 1998 mengakui keberadaan PBB. Preambul menegaskan bahwa pembentukan ICC tidaklah bertentangan dengan Piagam PBB. Peran PBB dalam menjaga perdamaian dan keamanan internasional sangat diperlukan dan dewan keamanan dalam menyelesaikan penegakkan oleh mahkamah pidana internasional/ICC agar tidak terjadinya disefeksi maupun ambiguitas terhadap penyelesaian kasus tindak pidana internasional sesuai yang diuraikan dalam Pasal 5 Statuta Roma. Dalam penulisan terdapat dua rumusan masalah, yaitu 1 Bagaimana peran dan kewenangan organisasi internasional PBB dalam penegakkan hukum oleh mahkamah pidana internasional?; 2 Bagaimana prospek dan tantangan mahkamah pidana internasional ICC dalam menyelesaikan kasus the most serious crime?. Adapun dalam Atmasasmita, R. Op. Cit., h. 66 Katiandagho, K. 2016. “Kewenangan Mahkamah Pidana Internasional Untuk Mengadili Pelaku Kejahatanpelanggaran Ham Berat Dalam Suatu Negara Tanpa Adanya Permintaan Dari Negara Tuan Rumah”. Jurnal Ilmiah, h. 5 Pasal 13 Poin b Piagam PBB 255 S A S I Vo l . 2 6 N o . 2 , A p r i l - J u n i 2 0 2 0 penulisan ini menggunakan metode penelitian hukum yuridis normatif dengan penelitian dari data sekunder dan dijelaskan secara deskriptif. B. PEMBAHASAN 1. Peran Dan Kewenangan Organisasi Internasional PBB Dalam Penegakkan Hukum Oleh Mahkamah Pidana Internasional Tidak bisa dipungkiri peran PBB sebagai organisasi internasional dengan anggota terbesar saat ini dalam hubungan internasional kontemporer sangatlah signifikan. PBB adalah organisasi universal dengan kompetisi umum. PBB dalam menjalankan fungsi pemeliharaan perdamaian keamanan melalui salah satu organ PBB, yaitu Dewan Keamanan Security Council. Peran Dewan Keamanan dalam Piagam PBB Bab VII tentang Action with Respect to threats, to the Peace, Breaches of the Peace, and Acts of Agression adalah untuk menciptakan perdamaian dan keamanan dunia. Dewan Keamanan ini pada masa awal dibentuknya PBB merupakan satu-satunya badan yang berwenang menegakkan keadilan dan menjaga kemananan internasional. Menurut Neha Jain bahwa pembentukan dan pemberian kewenangan Dewan Keamanan oleh Piagam PBB sebagai organ yang satu-satunya berwenang menegakkan keadilan dan menjaga keamanan internasional yang mempunyai sifat politis dalam mencapai Pidana Internasional dan Dewan Keamanan PBB, hubungan keduanya didasari oleh Preambul Statuta Roma baris ke-9 serta pada pasal 4 ayat 3Negotiated Relationship Agreement between the International Criminal Court and the United Nations yang berlaku sah mengikat pada tanggal 4 Oktober 2004. Dari uraian pasal-pasal tersebut menunjukkan diakuinya hubungan antara Dewan Keamanan dan Mahkamah Pidana Internasional, hubungan tersebut bukan hanya mengakui keberadaan namun juga mengakui wewenang satu dengan upaya menciptakan perdamaian dan keamanan internasional, PBB memiliki lima tindakan. Tindakan tersebut masing-masing saling berkaitan dan dalam pelaksanaannya memerlukan dukungan dari semua negara anggota PBB untuk dapat terwujud. Keempat kelompok tindakan tersebut adalah Preventive Diplomacy, Peace Making, Peace Keeping, Peace Building, Peace Enforcement. dari paragraf statuta roma telah ditegaskan kembali perlunya suatu Sefriani, Peranan Hukum.. Op. Cit., h. 202 Jain, N. 2005. “A Separate Law For Peacekeepers The Clash Between The Security Council And The International Criminal Court”. The European Journal Of International Law, 16 2, h. 239 Preambule 9 Statuta Rome 1998 “Determined to these ends and for the sake of present and future generations, to establish an independent permanent International Criminal Court in relationship with the United Nations system, with jurisdiction over the most serious crimes of concern to the international community as a whole”. Article 4 3 Negotiated Relationship Agreement between the International Criminal Court and the United Nations “Whenever the Security Council considers matters related to the activities of the Court, the President of the Court “the President” or the Prosecutor of the Court “the Prosecutor” may address the Council, at its invitation, in order to give assistance with regard to matters within the jurisdiction of the Court”. Kocar, Y. 2015. “The Relationship Between The International Criminal Court And The United Nations Security Council”. Law & Justice Review, 6 11, h. 172 Adolf, H. 2004. Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional. Bandung Sinar Grafika, h. 95-97 Preambule 7 Statuta Rome 1998 256 S A S I Vo l . 2 6 N o . 2 , A p r i l - J u n i 2 0 2 0 negara untuk menyelesaikan sengketa dengan damai dan larangan menggunakan kekerasan yang mengancam integritas wilayah atau kemerdekaan suatu negara. Berdasarkan ketentuan tersebut ICC merupakan mahkamah yang permanen, independen dan mempunyai hubungan dengan sistem PBB. Mahkamah yang permanen dan independen didasarkan pada tiga prinsip, yaitu pertanggung jawaban individu individual accounntability, universal universality dan jujur fainess. Tujuan pertama dari pendirian ICC adalah memungkinkan adanya suatu mekanisme yang mempunyai yurisdiksi terhadap individu untuk bertanggung jawab terhadap tindakan kejahatan yang telah dilakukan. Prinsip ini berhubungan dengan suatu negara yang tidak dapat melindungi warga negaranya termasuk pimpinannya dalam kaitan dengan kejahatan serius terhadap kemanusiaan yang merupakan yurisdiksi ICC. Prinsip pertama ini menimbulkan prinsip kedua yaitu universalitas. Prinsip kedua ini berarti bahwa yurisdiksi ICC harus diterapkan pada semua individu tanpa memandang tingkat jabatannya, kedudukannya dan kewargenegaraannya. Prinsip ketiga jujur faimess ini harus diterapkan persamaan keadilan bagi semua dan ini merupakan standar tertinggi dari proses keadilan."Ketika ICC dibicarakan bagaimana hubungannya dengan PBB timbul beberapa pemikiran1 ICC sebagai organ utama PBB; 2 Statuta sebagai perjanjian internasional; 3 ICC sebagai organ tambahan dari Majelis Umum PBB 4 ICC sebagai organ tambahan dari Dewan Keamanan 5 ICC sebagai badan Khusus Hubungan lainnya antara PBB dan Statuta Roma juga terlihat dari wewenang Dewan Keamanan PBB yang disebut juga dengan istilah hak referral hak menyerahkan yang diuraikan dalam Pasal 13 Statuta Roma. Berdasarkan Pasal 13 poin b statuta roma maka ICC dapat menjalankan kewenangannya terhadap tindak pidana serius Pasal 5 Statuta Roma jika terdapat situasi dimana satu atau lebih tindak pidana telah dilakukan oleh pelaku dan perkaranya telah dilimpahkan kepada jaksa penuntut oleh Dewan Keamanan yang dapat bertindak berdasarkan Bab VII Piagam PBB. Dari uraian Pasal 13 poin b maka jelaslah bahwa Dewan Kemananan PBB mempunyai kewenangan untuk mengiterprestasikan atau mengidentifikasikan apakah tindak pidana yang dilakukan berdasarkan Pasal 5 Statuta Roma melanggar ketentuan dari BAB VII Piagam PBB. Dewan Kemanan PBB juga memiliki hak deferral hak menangguhkan seperti “Reaffirming the Purposes and Principles of the Charter of the United Nations, and in particular that all States shall refrain from the threat or use of force against the territorial integrity or political independence of any State, or in any other manner inconsistent with the Purposes of the United Nations”. Suwardi, S. S. Op. Cit, h. 7 Article 13 Statuta Roma “The Court may exercise its jurisdiction with respect to a crime referred to in article 5 in accordance with the provisions of this Statute if a A situation in which one or more of such crimes appears to have been committed is referred to the Prosecutor by a State Party in accordance with article 14; b A situation in which one or more of such crimes appears to have been committed is referred to the Prosecutor by the Security Council acting under Chapter VII of the Charter of the United Nations; or c The Prosecutor has initiated an investigation in respect of such a crime in accordance with article 15. “ 257 S A S I Vo l . 2 6 N o . 2 , A p r i l - J u n i 2 0 2 0 yang dijelaskan dalam Pasal 16 Statuta Roma. Dari pasal tersebut Statuta Roma/ICC dapat menentukan penyidikan, penyelidikan maupun penuntutan tidak dapat dimulai atau dilaksanakan dalam jangka waktu 12 bulan setelah Dewan Keamanan PBB dalam resolusinya yang dibuat berdasarkan Bab VII Piagam PBB telah menangguhkan penyidikan dan penuntutan. Permintaan tersebut bisa diperbarui berdasarkan oleh Dewan Keamanan PBB dalam situasi yang sama kerena terdapatnya sebuah fakta atau kesaksian yang baru. Dari uraian Pasal 16 Statuta Roma ini jelaslah bahwa Dewan Kemanan PBB mempunyai peran dan wewenang yang sangat besar, tentunya hal tersebut sangat memperngaruhi pelaksanaan dalam penegakkan tindak pidana internasioal oleh ICC. Keterkaiatan antara hak referral hak menyerahkan dan hak deferral hak menangguhkan diatas dalam pelaksanaannya juga perlu memperhatikan Pasal 17 Statuta Roma yang mengatur dapat diterimanya sebuah perkara. Walaupun Mahkamah Pidana Internasional sebagai lembaga Hukum Internasional yang tersendiri karena kedudukannya terlepas dari PBB. Meskipun Mahkamah Pidana Internasional terlepas dari PBB, Mahkamah Pidana Internasional kinerjanya dipengaruhi oleh hubungan yang berkembang dengan Dewan Keamanan PBB. Hubungan ini dijelaskan dalam Preambul Statuta Roma serta pada pasal 4 ayat 3 Negotiated Relationship Agreement between the International Criminal Court and the United Nations. Selanjutnya hubungan tersebut dituangkan lebih lanjut pada pasal 13 dan pasal 16 Statuta Roma mengenai kewenangan Dewan Keamanan dalam yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional. Peristiwa demikian dicontohkan dengan resolusi Dewan Keamanan 1422 pada tahun 2002. Resolusi tersebut mengacu pada pasal 16 Statuta Roma. Amerika Serikat mengancam akan menarik pasukan penjaga perdamaian Perserikatan Bangsa-Bangsa di Bosnia apabila tidak diberikan kekebalan hukum atas yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional terhadap pasukan-pasukan tersebut. Resolusi 1422 akhirnya diadopsi mengikuti permintaan tersebut pada tahun 2002. Moss kemudian menyatakan dalilnya a Resolusi 1422 Dewan Keamanan Perserikatan sebenarnya menyimpang dari ketentuan pasal yang tercantum dalam Pasal 16 Statuta Roma. b Ketentuan pasal 16 Statuta Roma, bahwa Statuta Roma mengamanatkan penangguhan proses penyelidikan atau penuntutan perkara, bukan memberi kekebalan hukum, dengan demikian Amerika Serikat menyimpang dari Statuta Roma. c Bahwa dalam keanggotan permanen Dewan Keamanan, hanya Inggris dan Perancis menjadi anggota dari Statuta Roma. d Amerika Serikat bukan pihak dari Statuta Roma, namun dengan kekuatannya sebagai Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa bersama empat anggota Article 16 Statuta Roma “No investigation or prosecution may be commenced or proceeded with under this Statute for a period of 12 months after the Security Council, in a resolution adopted under Chapter VII of the Charter of the United Nations, has requested the Court to that effect; that request may be renewed by the Council under the same conditions.” Obura, K. 2015. The Security Council And The International Criminal Court When Can The Security Council Defer A Case?. Strathmore Law Journal, h. 122., baca juga Article 4 Statuta Roma, The Court shall have international legal personality. It shall also have such legal capacity as may be necessary for the exercise of its functions and the fulfilment of its purposes. The Court may exercise its functions and powers, as provided in this Statute, on the territory of any State Party and, by special agreement, on the territory of any other State. Anditya, A. W. 2017. Implikasi Hak Referral Dan Hak Deferral Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa Terhadap Penegakan Hukum Pidana Internasional Oleh Mahkamah Pidana Internasional, Tesis, Universitas Gadjah Mada, h. 13 258 S A S I Vo l . 2 6 N o . 2 , A p r i l - J u n i 2 0 2 0 permanen lainnya, dapat mempengaruhi kepercayaan dunia terhadap Mahkamah Pidana Internasional. Dewan Keamanan adalah badan yang terlepas dari Statuta Roma diberikan hak untuk menyerahkan keadaan referral dan hak untuk menangguhkan proses penyelidikan atau penuntutan deferral oleh Statuta Roma, Dewan Keamanan harus menghormati independensi dan yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional. Hak-hak Dewan Keamanan tersebut hanya dapat diterapkan atas dasar keadaan yang benar-benar mengancam perdamaian serta keamanan dunia. Hal ini dapat ditinjau dari pasal 17, pasal 18, dan pasal 19 Statuta Roma, bahwa Mahkamah Pidana Internasional memiliki hak untuk tetap objektif dan tunduk pada pasal 53 Statuta Roma dalam menerima atau menangguhkan proses penyelidikan atau veto dari Dewan Keamanan PBB yang membatasi yurisdiksi ICC dimana Hak veto dimiliki oleh 5 anggota tetap Dewan Keamanan PBB, yakni Amerika Serikat, Inggris, Rusia, Cina, dan Prancis. Hak veto adalah hak untuk membatalkan keputusan, ketetapan, rancangan peraturan dan undang-undang atau resolusi. Penggunaan Hak veto ini didasarkan dalam Statuta Roma Pasal 16 Statuta Roma. Berdasarkan pasal ini, maka Dewan Keamanan dimungkinkan untuk turut campur dalam proses penyelidikan dan penuntutan pelanggaran HAM berat. Berikut ini beberapa contoh penggunaan Hak veto dalam yurisdiksi ICC yang menimbulkan kontroversi, antara lainPertama, dalam kasus kejahatan kemanusiaan yang melibatkan presiden Sudan. Dalam pelaksanaan kewenangan ICC sehubungan dengan kasus ini, Amerika Serikat menggunakan Hak vetonya untuk mendapat penangguhan penuntutan presiden Sudan karena ketentuan Pasal 16 Statuta Roma. ICC pun menangguhkan penuntutan terhadap presiden Sudan. Kedua, penggunaan Hak veto oleh Amerika Serikat yang menuntut agar pasukan Amerika yang bertugas dalam operasi pasukan penjaga perdamaian diberi kekebalan immunity dari yurisdiksi ICC dengan mengancam memutuskan keterlibatannya dalam pasukan penjaga perdamaian PBB di Bosnia pada 31 Juli 2002 jika hak vetonya tidak diindahkan. Setelah melalui perundingan akhirnya permintaan Amerika dikabulkan dan berhasil mendapatkan penangguhan penyelidikan dan penuntutan dari ICC selama 1 tahun 11 bulan atau sampai operasi penjaga perdamaian selesai. Ketiga, penggunaan Hak veto oleh Amerika untuk Israel atas kasus kejahatan internasional yang dilakukan oleh Israel. Penggunaan Hak veto Amerika Serikat untuk membela Israel adalah sebanyak 39 veto, padahal Israel telah melakukan banyak pelanggaran terhadap beberapa resolusi PBB, antara lain resolusi 271, 298, 452, dan 673. Contoh penggunaan Hak veto diatas menunjukan bahwa anggota tetap Dewan Keamanan dalam menggunakan Hak vetonya mengacu pada national interest atau kepentingan negara itu sendiri. Penggunaan hak veto ini bertentangan dengan asas keadilan dan mengingkari realitas sosial. PBB diharapkan dapat merevisi kembali penggunaan Hak veto oleh Dewan Keamanan. Hal ini dikarenakan bahwa Hak veto tidak sesuai dengan prinsip persamaan kedudukan negara. Christian Wolff mengemukakan bahwa antara satu negara dengan negara yang lainnya memiliki kedudukan yang sama satu sama lain. Walaupun negara-negara Dewan Keamanan anggota tetap seperti Adolf, H. 2015. Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional. Bandung Keni Media, h. 259 S A S I Vo l . 2 6 N o . 2 , A p r i l - J u n i 2 0 2 0 Amerika Serikat dan lainnya memiliki hak untuk turut serta dalam kasus yang diadili oleh ICC akan tetapi hal tersebut dalam hukum internasional terjadi pertentangan norma seperti halnya dengan prinsip persamaan kedudukan negara. Masalah lain yang membayang-bayangi legitimasi ICC, selain penggunaan Hak veto ialah ketentuan dalam Pasal 98 Statuta Roma Merujuk pada ketentuan Pasal 98 Statuta Roma di atas, menunjukkan bahwa efektivitas ICC dalam menuntut dan mengadili pelaku kejahatan HAM berat masih terhambat oleh ketentuan tersebut di atas. Hal ini terbukti dari kenyataan praktik implementasi Statuta ICC, dimana Amerika Serikat telah dapat memanfaatkan celah hukum di atas yaitu dengan mengadakan perjanjian bilateral dengan negara lain untuk tidak menyerahkan kepada ICC. Perjanjian bilateral tersebut disebut United States Bilateral Agreement for Immunity. Perjanjian ini menyatakan bahwa tidak ada warga negara, baik pejabat maupun mantan pejabat, atau personil militer setiap pihak yang bisa diserahkan atau dipindahkan oleh negara lain ke ICC untuk tujuan Prospek dan Tantangan Mahkamah Pidana Internasional ICC Dalam Menyelesaikan Kasus The Most Serious Crime Statuta Roma adalah perjanjian yang diadopsi dalam Konferensi Roma 1998 untuk menjadi dasar terbentuknya International Criminal Court ICC. Perjanjian yang disusun dan disetujui pada hari yang sama yaitu 17 Juli 1998 tersebut hingga saat ini telah diratifikasi oleh 124 negara, sedangkan jumlah negara penandatangan mencapai 139 negara. Terkait ICC, Statuta Roma mengaturnya di bagian 1. Pasal 1 Statuta Roma mendefinisikan ICC sebagai “suatu lembaga permanen dan mempunyai kekuasaan untuk melaksanakan jurisdiksinya atas orang-orang untuk kejahatan paling serius yang menjadi perhatian internasional, sebagaimana dicantumkan dalam Statuta ini, dan merupakan pelengkap terhadap jurisdiksi kejahatan nasional”. Yakni sehubungan dengan sifat Komplementer dari ICC terhadap pengadilan nasional dan bukan bersifat sub-ordinatif. Hal ini juga dapat diartikan bahwa sesungguhnya masyarakat internasional menaruh harapan besar akan lebih baiknya penegakkan hukum terhadap pelaku kejahatan internasional dengan kehadiran ICC, Namun demikian ternyata tidak seperti yang diharapkan, kehadiran ICC pada akhirnya mendapat penolakan dari negara Amerika Serikat. Negara yang semula menjadi sponsor ini menjadi yang mendasar dari Statuta Roma ini adalah bahwa ICC “merupakan pelengkap bagi yurisdiksi pidana nasional”. Ini berarti bahwa Mahkamah harus mendahulukan sistem nasional, kecuali jika sistem nasional yang ada benar-benar tidak mampu unable dan tidak bersedia unwilling untuk melakukan penyelidikan atau 48 Shaw, M. N. 2013. Hukum Internasional. Bandung Nusa Media, h. 402 Article 1 Statuta Roma “permanent institution and shall have the power to exercise its jurisdiction over persons for the most serious crimes of international concern, as referred to in this Statute, and shall be complementary to national criminal jurisdictions”. Sefriani, 2009. “Kewenangan Dewan Keamanan Menghentikan Yurisdiksi ICC Studi Kasus Resolusi Dewan Keamanan Nomor 1497 Tahun 2003”, Jurnal Hukum 16 1, h. 3 Unable-tidak mampu Pasal 17 3 Pengadilan suatu negara dinyatakan tidak mampu apabila terjadi kegagalan sistem pengadilan nasional, secara menyeluruh ataupun sebagian. Sehingga negara tersebut tidak mampu menghadirkan tertuduh atau bukti dan kesaksian yang dianggap perlu untuk menjalankan proses hukum Unwilling-tidak bersungguh-sungguh Pasal 17 2 Suatu negara dinyatakan tidak mempunyai 260 S A S I Vo l . 2 6 N o . 2 , A p r i l - J u n i 2 0 2 0 menuntut tindak kejahatan yang terjadi, maka akan diambil alih menjadi dibawah yurisdiksi Mahkamah berdasarkan Pasal 17 Statuta Roma. Berkaitan dengan yurisdiksi atau kewenangan mengadili, maka ICC dibatasi oleh beberapa hal Pertama, berdasarkan subjek hukum yang dapat diadili atau personal jurisdiction rationae personae, ICC hanya dapat mengadili individu natural person. Pelaku kejahatan dalam yurisiksi ICC harus mempertanggungjawabkan perbuatannya secara individu individual responsibility, termasuk pejabat pemerintahan, komandan baik militer muapun sipil. Kedua, berdasarkan jenis kejahatan yang menjadi ruang lingkupnya atau material jurisdiction rationae materiae. Maka yurisdiksi ICC adalah pada kejahatan-kejahatan yang merupakan kejahatan paling serius the most serious crime dalam pandangan masyarakat internasional yang diatur dalam Pasal 5-8 Statuta Roma 1998. Adapun pemicu berlakunya yurisdiksi ICC didasarkan pada tiga institusi sebagai triggered jurisdiciton, yakni Complaint by a State Party; Refferal by the Security Council dan Trigger by the Prosecutor. Berkenaan dengan Dewan Keamanan PBB, maka dapat dikemukakan bahwa kewenangan tersebut didasarkan pada Pasal 39 Piagam PBB yang menyatakan bahwa "Dewan Keamanan akan menentukan ada tidaknya satu ancaman terhadap perdamaian, pelanggaran terhadap perdamaian, atau tindakan agresi dan akan menganjurkan atau memutuskan tindakan apa yang harus diambil sesuai dengan Pasol 41 dan 42. Untuk memelihara atau memulihkan perdamaian dan keamanan internasional" . Berdasarkan Pasal 39 Piagam PBB diatas Maupun pasal 13 Statuta Roma, maka terdapat hubungan yang sangat erat antara Dewan Keamanan PBB dengan ICC yang merupakan dua lembaga yang sama-sama bekerja sama dalam memelihara dan menjaga perdamaian dan keamanan internasional namun dalam penyelesaiannya yang berbeda. Dewan Keamanan PBB berdasar pada Pasal 13b Statuta Roma 1998, di mana di dalam Statuta Roma 1998 yang hanya dapat dijalankan oleh Dewan Keamanan PBB, khususnya oleh anggota tetap. Dalam hal ini yang diperlukan adalah penyerahan resolusi oleh Dewan Keamanan PBB yang berdasar Bab VII Piagam PBB dan berdasarkan resolusi tersebut dan menyerahkan kasus pelanggaran HAM berat kepada ICC. Terdapat perbedaan mendasar antara pelaksaan yurisdiksi dari ICC oleh Dewan Keamanan PBB dengan negara peserta Statuta atau Jaksa Penuntut ICC yang membuat yurisdiksi ICC menjadi absurd, tidak praktis dan terbatas pada hal-hal tertentu, ini karena disebabkan oleh adanya pra kondisi berlakunya yuridiksi ICC sebagaimana yang diatur dalam Pasal 12. Dimana yurisdiksi dari ICC berlaku terhadap negara peserta dan tempat terjadinya pelanggaran HAM harus merupakan keseluruhan dari negara peserta Statuta Roma. Apabila terdapat negara yang menjadi pihak Statuta Roma setelah Statuta berlaku, maka ICC hanya dapat melaksanakan yurisdsiksi terhadap kejahatan yang dilakukan setelah berlakunya ratifikasi atau aksesi oleh negara tersebut. kesungguhan dalam menjalankan pengadilan apabila 1 Pengadilan nasional dijalankan dalam rangk a melindungi pelaku dari tanggung jawab pidana atas kejahatan berat tersebut 2 Terjadi penundaan yang tidak konsisten dengan niat untuk mendapat keadilan; 3 Pengadilan dilakukan secara tidak independen dan memihak, serta tidak konsisten dengan niat untuk mendapatkan keadilan Sefriani, 2009. “Kewenangan Dewan Keamanan Menghentikan Yurisdiksi ICC Studi Kasus Resolusi Dewan Keamanan Nomor 1497 Tahun 2003”. Jurnal Hukum, 16 1, h. 6 261 S A S I Vo l . 2 6 N o . 2 , A p r i l - J u n i 2 0 2 0 Prospek dari ICC seharusnya diletakkan pada adanya kemauan dan kerjasama negara-negara di dunia, mengingat penegakkan hukum pidana internasional terhadap pelaku pelanggaran most serious crimes yang lebih diutamakan dibandingkan kejahatan atau tindak pidana yang bisa diselesaikan melalui pengadilan nasional suatu negara. Kerjasama sama antara negara-negara sangat diperlukan oleh ICC dalam rangka penegakkan pelanggaran HAM ketika suatu negara tidak memiliki kemampuan dalam penegakkan kejahatan tersebut. Dari penjelasan ICC diatas, dimasa yang akan datang ICC akan mengalami berbagai macam hambatan dan tantangan dalam kaitannya terhadap negara, baik yang telah melalui ratifikasi aksesi dan negara yang tidak mau mengikatkan diri pada ICC seperti negara Amerika Serikat, China, Israel dsb. Disamping hal itu akan terjadi juga tantangan sehubungan dengan penerapan yuridiksi dari ICC yang melalui prinsip komplementer yang merupakan bentuk perluasan dari penegakkan pengadilan nasional. Tantangan lainnya berupa kewenangan dari Dewan Keamanan PBB yang ditimbulkan oleh implikasi pengaturan ICC secara politis maupun adanya kepentingan politik dari negara negara adidaya ataupun negara yang termasuk dalam anggota tetap yang tidak dinaungi oleh ICC yang pada akhirnya menghambat eksistensi dari ICC. Tantangan berikutnya yakni permasalahan kedaulatan negara dan non intervensi negara lain, yang dengan hal tersebut suatu negara tidak mudah menyerahkan warga negara untuk diadili oleh ICC. Prinsip dasar yang dianut dalam Statuta Roma adalah bersifat “komplemeter”. Artinya, terjadinya kejahatan yang menjadi yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional, maka pengadilan terhadap pelaku terlebih dulu diserahkan kepada hukum nasional negara di mana kejahatan dilakukan. Apabila negara yang bersangkutan tidak mau unwilling atau tidak dapat unable mengadili pelaku kejahatan tersebut, maka peran Mahkamah Pidana Internasional diperlukan terhadap pelaku pelaku kejahatan satu masalah yang telah sekian lama adalah konflik antara Israel dan Palestina adalah sebuah konflik antara Israel dan Palestina dalam memperebutkan otoritas tanah yang mana kedua belah pihak mengklaim mempunyai hak yang sama atas tanah tersebut. Dalam penelitian ini tanah yang diperebutkan itu disebut Tanah Suci. Perang 6 hari atau Perang Arab-Israel 1967 adalah perang yang berlangsung selama 6 hari ini merupakan konflik bersenjata antara Israel melawan negara-negara Arab yang diwakili oleh Mesir, Suriah dan Yordania. Pasca perang yang dimenangkan oleh Israel tersebut, wilayah Israel terus meluas, sementara wilayah negara-negara Arab mulai berkurang. Kejahatan Perang Israel terhadap Palestina yang menimbulkan kerugian dan banyaknya korban jiwa adapun pelanggaran tersebut diantara-Nya melakukan penyerangan terhadap penduduk sipil, menyerang obyek sipil, fasilitas umum, penggunaan senjata terlarang, penyerangan udara secara tidak proporsional. Akibat dari serangan tersebut mengakibatkan lebih dari Empat puluh warga Palestina telah tewas dan terluka dalam pawai Gaza di sepanjang pagar perbatasan antara Jalur Gaza dan Israel sejak 30 Maret 2018. Dari mereka yang berada di rumah sakit pemerintah, terkena peluru tajam, 107 dengan peluru bermata spons, 408 menderita inhalasi gas dan 582 menderita luka-luka lainnya; adalah orang dewasa dan 454 adalah anak di bawah yang dianggap melakukan unwilling dan unable pada prinsipnya hanya Hiariej, E. 2009. Pengantar Hukum Pidana Internasional. Jakarta Erlangga, h. 72 Matamata Politik. 2018. Luka PBB Laporkan Jumlah Palestina Yang Terus Bertambah Di Pawai Gaza. Retrieved from 262 S A S I Vo l . 2 6 N o . 2 , A p r i l - J u n i 2 0 2 0 berlaku bagi negara peserta yang telah melakukan ratifikasi terhadap statuta roma akan tetapi makna bisa diperluas dengan dasar ICC memiliki kewenangan untuk mengadili kejahatan yang paling serius the most serious crimes. Pada Pasal 12 ayat 2 Statuta Roma dinyatakan bahwa ICC memiliki kewenangan untuk mengadili individu yang melakukan kejahatan di wilayah teritorial negara pihak dari ICC atau individu yang berasal dari negara yang sudah menjadi pihak dari perang war crime yang dilakukan oleh Israel terhadap Palestina dalam praktiknya kejahatan yang dilakukan termasuk dalam wilayah negara yang menjadi pihak dalam Statuta Roma yakni negara Palestina maka hal tersebut sesuai dengan ketentuan pasal 12 ICC ayat 2, walaupun Israel bukan menjadi pihak dari ICC maka ICC memiliki kewenangan untuk mengadili berdasarkan pasal tersebut walaupun Israel sendiri bukan merupakan non pihak Statuta Pasal 34 Vienna Convention on the Law of Treaties VCLT 1969 secara tegas diatur bahwa “A treaty does not create either obligations or rights for a third State without its consent”. Pasal ini memperlihatkan hubungan antara negara non pihakdengan perjanjian internasional adalah dengan adanya consent. Prinsip ini dikenal dengan prinsip pacta tertiis nec nocent nec prosunt yang mengandung makna bahwa suatu perjanjian internasional hanya memberikan hak dan kewajiban terhadap para pihak yang terikat pada perjanjian sendiri selalu beranggapan dan berlindung dari salah satu prinsip dari hukum internasional yakni prinsip pacta tertiis nec nocent nec prosunt yang berarti bahwa Statuta Roma 1998/ICC tidak memiliki kewenangan untuk turut serta dalam mengadili kejahatan perang yang dilakukan oleh Israel. Penulis berpendapat dengan keadaan suatu negara yang dianggap tidak mau unwilling atau tidak dapat unable seperti dalam kasus Palestina diatas maka dalam hal ini berlakulah prinsip komplemeter dari Statuta Roma 1998 yang merupakan perluasan dari pengadilan nasional yang berarti ICC memiliki kewenangan dalam mengadili kejahatan tersebut seperti halnya Kejahatan perang tersebut termasuk bagian yurisdiksi dari Mahkamah Pidana Internasional yang termasuk dalam ruang lingkup kejahatan Pasal 5 Statuta Roma. Maka kejahatan perang yang dilakukan oleh Israel terhadap Palestina telah menciderai hukum internasional dan telah termasuk dalam yurisdiksi dari mahkamah pidana internasional yakni Pertama, tindakan dan perlakuan tentara Israel terhadap Palestina merupakan kejahatan perang war crimes, yang merupakan yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional berkaitan dengan pokok perkara subject matter jurisdiction, sebagaimana termasuk dalam kategori pasal 5 ayat 1 Statuta Roma 1998. Kedua, kejahatan perang yang dilakukan oleh tentara Israel terjadi terus menerus Pasal 12 ayat 2 Statuta Roma menyatakan bahwa “Dalam hal pasal 13, ayat a atau c, Mahkamah dapat melaksanakan jurisdiksinya kalau satu atau lebih Negara berikut ini adalah pihak dari Statuta ini atau telah menerima jurisdiksi Mahkamah sesuai dengan ayat 3 a Negara yang berkuasa atas wilayah di mana perbuatan yang dipersoalkan itu terjadi atau, kalau kejahatan itu dilakukan di atas kapal atau pesawat terbang, Negara di mana kapal atau pesawat terbang itu terdaftar; b Negara di mana orang yang dituduh melakukan kejahatan adalah warga negara” Hadju, Z. A. A. 2019. “Anotasi Spirit Unable Dan Unwilling Terhadap Kejahatan Perang Israel Palestina”. Jambura Law Review, 1 2, h. 18 Parthiana, I. W. 2005. Hukum Perjanjian Internasional. Bagian II, Bandung Mandar Maju, h. 263 263 S A S I Vo l . 2 6 N o . 2 , A p r i l - J u n i 2 0 2 0 sampai dengan saat ini, dimana tahun-tahun tersebut merupakan tahun setelah berlakunya Statuta Roma 1998 pada tanggal 1 Juli 2002, yang artinya termasuk dalam yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional berkaitan dengan waktu Temporal Jurisdiction. Ketiga, walaupun kejahatan perang dilakukan di wilayah teritorial Israel yang mana bukan merupakan negara yang ikut meratifikasi Statuta Roma 1998, apabila kejahatan yang dilakukan termasuk dalam kategori kejahatan yang termasuk dalam Pasal 5 Statuta, maka berdasarkan prinsip universal yang dikenal dalam Hukum Internasional semua negara termasuk di dalamnya pengadilan internasional memiliki yurisdiksi terhadap pelaku tanpa memperhatikan nasionalitas para pelaku maupun tempat dilakukannya kejahatan tersebut. Dari penjelasan tersebut, maka Mahkamah Pidana Internasional tetap mempunyai yurisdiksi teritorial territorial jurisdiction. Sifat permanen ICC untuk semua negara yang menghendaki agar ICC tidak terlalu diberi ruang yang luas bagi munculnya judge-made law, yang oleh beberapa negara bisa dipandang sebagai suatu bentuk ketidakpastian yang bertentangan dengan prinsip nulum crimen sine lege. Secara keseluruhan, Statuta Roma 1998 memuat daftar lima puluh perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai kejahatan perang war crimes. terdapat norma hukum kebiasaan internasional yang justru tidak dimasukkan ke dalam rumusan Statuta Roma 1998, misalnya norma yang melarang penggunaan senjata biologis dan ICC atas warga non state party adalah bahwa Pasal 27 Statuta Roma 1998 Pasal di atas tidak membedakan antara imunitas personal dengan immunity ratione materiae. Sebaliknya Pasal 27 Statuta Roma 1998 merekomendasikan bahwa pejabat negara akan bertanggungjawab terhadap segala tindakan yang dilakukannya atas nama negara , pejabat negara di sini termasuk pejabat yang menikmati personal imunitas. Pasal 28 dimaksudkan untuk menghapuskan praktik impunitas. Secara umum impunitas dipahami sebagai tindakan yang mengabaikan penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan atau dalam kepustakaan umum sering kali diartikan sebagai absence of negara dikatakan tidak mempunyai kemauan dalam menyelenggarakan peradilan atas pelaku kejahatan yang terdapat dalam Statuta Roma 1998 apabila peradilan nasional dibentuk untuk melindungi pertanggung jawaban pelaku, ketidakmampuan negara dalam menyelenggarakan peradilan atas pelaku kejahatan yang terdapat dalam Statuta Roma 1998 dapat dilihat apabila tidak mampu untuk membawa pelaku ke hadapan pengadilan, jika tidak mampu untuk mendapatkan bukti-bukti dan kesaksian berhubungan dengan kejahatan tersebut, dan jika tidak berfungsinya sistem hukum nasional baik sebagian atau seluruhnya. C. P E N U T U P Berdasarkan hasil pembahasan dalam penelitian ini. Penulis menyimpulkan beberapa hasil dari penelitian bahwa peran PBB dalam ICC juga dilihat dari wewenang DK PBB yang terdapat istilah hak referral hak menyerahkan yang diuraikan dalam Pasal 13 Statuta Roma terhadap kejahatan dalam Pasal 5 Statuta Roma dan hak deferral Nulum Crimen Sine Lege merupakan Suatu perbuatan menjadi tindak pidana yang pelakunya dapat dijatuhi hukuman hanya kalau sebelum perbuatan itu dilakukan dan sudah ada hukum yang menyatakan demikian Siswanto, A. 2015. Hukum Pidana Internasional. Yogyakarta Andi, Sefriani, Yurisdiksi ICC., Op. Cit., h. 15 264 S A S I Vo l . 2 6 N o . 2 , A p r i l - J u n i 2 0 2 0 hak menangguhkan seperti yang dijelaskan dalam Pasal 16 Statuta Roma yang dapat menentukan penyelidikan maupun penuntutan tidak dapat dimulai atau dilaksanakan dalam waktu 12 bulan berdasarkan BAB VII Piagam PBB. Peristiwa demikian telah dilakukan dalam resolusi DK 1422 tahun 2002 yang mengacu terhadap Pasal 16 Statuta Roma. Amerika Serikat mengancam akan menarik pasukan penjaga perdamaian Perserikatan Bangsa-Bangsa di Bosnia apabila tidak diberikan kekebalan hukum atas yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional terhadap pasukan-pasukan tersebut. DK PBB juga memiliki hak untuk campur tangan dalam proses penyelidikan dan penuntutan kasus yang diadili ICC. Prospek dari ICC diletakkan pada kemauan dan kerjasama negara-negara terhadap pelaku kejahatan paling serius, kerjasama antara negara-negara sangat diperlukan ICC dalam penegakkan pelanggaran HAM, Tantangan yang dihadapi berupa DKK PBB yang ditimbulkan secara politis dan adanya kepentingan politik dari negara anggota tetap DKK yang tidak dinaungi oleh ICC dan terkait dengan non intervensi terhadap negara lain, yang pada akhirnya menghambat eksistensi dari ICC. ICC memiliki empat macam yurisdiksi yakni, yurisdiksi personal, kriminal, temporal dan teritorial. Pasal 17 ayat 2 dan ayat 3 menentukan negara yang dianggap tidak mau unwilling. ketidaksediaan unable. Berkenan dengan hal itu kita dapat kembali ke prinsip otomatis yaitu locus delicti bahwa Israel melakukan kejahatan perang di wilayah palestina dan didukung dengan yurisdiksi dari mahkamah tersebut maka ICC sudah lebih dari cukup untuk mengadili Israel dengan menggunakan yurisdiksi prinsip otomatis yang terkandung dalam statute roma 1998. DAFTAR PUSTAKA Buku [1] Adolf, H. 2004. Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional. Bandung Sinar Grafika. [2] Adolf, H. 2015. Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional. Bandung Keni Media. [3] Diantha, I. M. P. 2014. Hukum Pidana Internasional Dalam Dinamika Pengadilan Pidana Internasional. Jakarta Kencana Prenada Media Group. [4] Hiariej, E. 2009. Pengantar Hukum Pidana Internasional. Jakarta Erlangga. [5] Muladi. 2001. “Yurisdiksi Dan "Adminissbility" Pengadilan Pidana Internasional”. Hukum dan Pembangunan. [6] Parthiana, I. W. 2005. Hukum Perjanjian Internasional. Bagian II, Bandung Mandar Maju. [7] Rudy, T. M. 2011. Hukum Internasional 2. Bandung Refika Aditama. [8] Shaw, M. N. 2013. Hukum Internasional. Bandung Nusa Media. [9] Siswanto, A. 2015. Hukum Pidana Internasional. Yogyakarta Andi. [10] Sefriani, 2016. Peran Hukum Internasional Dalam Hubungan Internasional Kontemporer. Jakarta Rajawali Pers. [11] Widodo. 2017. Hukum Internasional Publik. Yogyakarta Aswaja Pressindo. Jurnal [12] Gunakaya, W. 2013. “Peranan Dan Prospek ”International Criminal Court” Sebagai International Criminal Policy Dalam Menanggulangi ”Internasional Crimes”. Jurnal Wawasan Hukum, 29 2. 265 S A S I Vo l . 2 6 N o . 2 , A p r i l - J u n i 2 0 2 0 [13] Hadju, Z. A. A. 2019. “Anotasi Spirit Unable Dan Unwilling Terhadap Kejahatan Perang Israel Palestina”. Jambura Law Review, 1 2. [14] Jain, N. 2005. “A Separate Law For Peacekeepers The Clash Between The Security Council And The International Criminal Court”. The European Journal Of International Law, 16 2. [15] Kocar, Y. 2015. “The Relationship Between The International Criminal Court And The United Nations Security Council”. Law & Justice Review, 6 11. [16] Katiandagho, K. 2016. “Kewenangan Mahkamah Pidana Internasional Untuk Mengadili Pelaku Kejahatanpelanggaran Ham Berat Dalam Suatu Negara Tanpa Adanya Permintaan Dari Negara Tuan Rumah”. Jurnal Ilmiah. [17] Obura, K. 2015. “The Security Council And The International Criminal Court When Can The Security Council Defer A Case”. Strathmore Law Journal. [18] Suwardi, S. S. 2003. “Beberapa Catatan Mahkamah Pidana Internasional International Criminal Court Dalam Kaitannya Dengan Perserikatan Bangsa- Bangsa PBB”. Hukum dan Pembangunan, 33 4. [19] Sefriani, 2009. “Kewenangan Dewan Keamanan Menghentikan Yurisdiksi ICC Studi Kasus Resolusi Dewan Keamanan Nomor 1497 Tahun 2003”, Jurnal Hukum, 16 1. Skripsi, Tesis, Disertasi dan Lain-Lain [20] Anditya, A. W. 2017. Implikasi Hak Referral Dan Hak Deferral Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa Terhadap Penegakan Hukum Pidana Internasional Oleh Mahkamah Pidana Internasional, Tesis, Universitas Gadjah Mada. Online/World Wide Web [21] Matamata Politik. 2018. Luka PBB Laporkan Jumlah Palestina Yang Terus Bertambah Di Pawai Gaza. Retrieved from ... ICC dibentuk berdasarkan Statuta Roma 1998, secara efektif mulai berlaku sejak tanggal 17 Juli 2002, di samping memiliki yurisdiksi kriminal sebagaimana dikemukakan di atas, juga memiliki yurisdiksi personal untuk menyelidiki, mengadili dan memidana individu tanpa memandang official capacity yang dimiliki oleh pelakunya di dalam negara nasionalnya Damayanti, 2020. Tidak peduli, apakah ia seorang kepala negara, kepala pemerintahan, komandan militer atau sebagai atasan, seorang sipil atau tentara bayaran. ...Oktriani DianiFadjrin Wira PerdanaPurboyo PurboyoDriasko Budi SidarthaHadirnya sebuah peradilan pidana internasional dilatarbelakangi oleh keinginan untuk mengadili para penjahat kemanusiaan. Sebelum adanya pengadilan pidana internasional beberapa peradilan sudah pernah didirikan untuk mengadili penjahat perang terkhusus setelah perang dunia kedua terjadi. Nuremberg Trial dan Tokyo Trial dibentuk untuk mengadili para pelaku kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi pada perang dunia kedua saat itu. Pemimpin negara adalah individu yang merupakan subjek hukum internasional dan berhak dimintakan pertanggungjawaban. Seorang individu dapat dimintakan pertanggungjawaban atas dasar Pasal 25 Statuta Roma 1998 yang membahas mengenai tanggung jawab pidana seorang individu. Pasal 27 Statuta Roma 1998 menyatakan bahwa tidak seorang individu yang dapat terbebas dari hukum nasional atau internasional yang berlaku, meskipun individu tersebut memiliki peranan penting dan imunitas di sebuah negara. Omar Al-Bashir dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana karena memenuhi unsur pertanggungjawaban tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ICC berwenang mengadili kejahatan internasional yang dilakukan oleh Pemimpin Negara yang terjadi di Dafur Sudan. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Sumber bahan hukum yang diperoleh dan diolah dalam penelitian hukum normatif adalah data sekunder. Bahan hukum sekunder, yaitu publikasi hukum dari semua dokumen tidak resmi. Teknik pengumpulan bahan hukum adalah dengan menggali kerangka normatif dan teknik penelitian dokumen menggunakan bahan hukum yang membahas ketentuan yurisdiksi International Criminal Court ICC. Pasal 27 Statuta Roma 1998 menyatakan bahwa tidak seorang individu yang dapat terbebas dari hukum nasional atau internasional yang berlaku, meskipun individu tersebut memiliki peranan penting dan imunitas di sebuah negara. Omar Al-Bashir dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana karena memenuhi unsur pertanggung jawaban OburaThis paper discusses the deferral power of the Security Council under Article 16 of the Rome Statute. It analyses the drafting history, provision and practice of Article 16 with a view to identifying the requirements that a situation should meet before the article may be invoked by the Security Council. The purpose is to provide guidance on the legal terrain within which the Security Council is authorised to act under Article 16, especially in light of its inconsistent invocation of the deferral power. The paper argues firstly, that, being a creature of the law, the Security Council is governed and qualified by the law; and secondly, that Article 16 has unambiguously provided the parameters within which the Security Council should exercise its deferral Setianingsih SuwardiBadan Khusus PBB adalah organisasi internasional yang bergerak di bidang ekonomi. sosial. kebudayaan pendidikan. kesehatan maupun di bidang yang berkaitan dengan bidang-bidang tersebt. Sehubungan dengan Pasal 2 maka hubungan antara ICC dan PBB sebagai dua organisasi internasional yang mengadakan perjanjian. Jika dihuhungkan dengan Pasal 16 Statuta ICC maka Dewan Keamanan dalam kaitan dengan pelaksanaan Bab VII Piagam PBB mempunyai posisi lebih tinggi dari ICC. karena Dewan Keamanan dapat meminta ICC menangguhkan penyidikan atau penuntutan. Permasalahannya Dewan Keamanan dalam menggunakan hak berdasarkan Pasal 16 Statuta ICC apakah tidak dipengaruhi oleh pertimbangan politik mengingat praktek dewan Keamanan selama ini sangat ditentukan oleh pertimbangan MuladiArtikel ini mengulas yurisdiksi dan administrasi Pengadilan Pidana InternasionalInternational Criminal Court. Pembentukan Pengadilan Pidana Internasional tersebutdidasarkan atas Statuta Rorna tentang Pidana lnternasional 1998. Pembahasan yurisdiksiICC dikaitkan dengan pokok perkara, waktu, teritorial dan personal. Pembahasanadministrasi ICC, misalnya, dikaitkan dengan apakah suatu kasus dapat diterirna atau Abdul Azis HadjuTujuan dari penelitian ini adalah mengetahui Apa yang menjadi pertimbangan utama suatu entitas diakui sebagai negara oleh hukum internasional dan Bagaimana relasi antara spirit International Criminal Court ICC dengan prinsip unable and willing terhadap Palestina menurut hukum internasional. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif, dengan pendekatan perundang-undangan, pendekatan kasus, dan pendekatan historis. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Pasal 1 Konvensi montevidio menyebutkan bahwa ada empat kriteria yang harus dipenuhi oleh sebuah negara baru untuk menjadi sebuah negara berdaulat, yaitu; adanya populasi yang tetap, wilayah, pemerintah, dan kapasitas negara sebagai penunjang dalam melakukan hubungan dengan negara lain. Terdapat pula pengakuan terhadap suatu negara yang terbagi dalam dua bentuk yakni pengakuan secara de jure maupun secara de facto, Palestina telah diakui secara de jure karna dalam praktiknya yang dibuktikan dengan melakukan perjanjian internasional dengan beberapa negara. Bahwa, ICC memiliki empat macam yuridiksi yakni, yuridiksi personal, kriminal, temporal dan territorial. Pasal 17 ayat 2 dan ayat 3 menentukan negara yang dianggap tidak mau unwilling. ketidaksediaan unable. Berkenan dengan hal itu kita dapat kembali ke prinsip otomatis yaitu locus delicti bahwa Israel melakukan kejahatan perang di wilayah palestina dan didukung dengan yurisdiksi dari mahkamah tersebut, maka ICC sudah lebih dari cukup untuk mengadili Israel dengan menggunakan yuridiksi prinsip otomatis yang terkandung dalam statute roma 1998. Kriteria unwilling dan unable dapat diperluas penegakkan melalui Pasal 13 Statuta Roma 1998 yang menyatakan bahwa ICC memiliki tiga kewenangan untuk memeriksa kejahatan internasional, jika terdapat suatu kenyakinan bahwa salah satu dan atau seluruh pihak melakukan kejahatan internasional sesuai dengan Pasal 5 Statuta Roma JainSecurity Council Resolutions 1422 2002, 1487 2003 and 14972003, excluding the jurisdiction of the ICC, give rise to the fundamental issue of whether the legitimacy of an international institution such as the International Criminal Court may be eroded by an act of the Security Council, the political organ of the United Nations. This article analyses the legal validity of such resolutions within the framework of limitations that have been imposed upon the Council in international law. It discusses the relationship between the resolutions and the provisions of the Rome Statute, and concludes that their cumulative effect operates to modify the Rome Statute. It then deals with the effect of the illegality of these resolutions on the obligations of Member States of the UN, as well as on the Pidana Internasional Dalam Dinamika Pengadilan Pidana InternasionalI M P DianthaDiantha, I. M. P. 2014. Hukum Pidana Internasional Dalam Dinamika Pengadilan Pidana Internasional. Jakarta Kencana Prenada Media Perjanjian InternasionalI W ParthianaParthiana, I. W. 2005. Hukum Perjanjian Internasional. Bagian II, Bandung Mandar Internasional 2. Bandung Refika AditamaT M RudyRudy, T. M. 2011. Hukum Internasional 2. Bandung Refika Aditama. Apakah negara yang tidak meratifikasi sebuah perjanjian internasional bidang HAM boleh melakukan pelaporan ke Pelaporan Khusus HAM di PBB? Intisari Dalam hal terjadi pelanggaran HAM Internasional, PBB telah mengakomodir mekanisme pelaporan yang dibedakan menjadi 2 dua mekanisme a. Mekanisme berdasarkan Perjanjian HAM internasional The Treaty Based Mechanism Yakni mekanisme pengaduan yang dibentuk berdasarkan perjanjian atau konvensi HAM Internasional. b. Mekanisme berdasarkan Piagam PBB The Charter Based Mechanism Yakni prosedur penegakan HAM yang dibentuk berdasarkan Piagam PBB serta mandat yang dimiliki oleh Dewan Ekonomi dan Sosial ECOSOC. Berdasarkan 2 dua mekanisme tersebut, jika suatu negara tidak meratifikasi perjanjian internasional di bidang HAM, maka negara tersebut hanya dapat melakukan pelaporan dengan mekanisme kedua, yaitu berdasarkan Piagam PBB The Charter Based Mechanism. Bagaimana mekanismenya? Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan Terima kasih atas pertanyaan Anda. Hak Asasi Manusia Berdasarkan Undang-Undang dan Piagam PBB Pada hakikatnya Hak Asasi Manusia “HAM” merupakan hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia “UU HAM” mengatakan Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikatnya dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-nya yang wajib di hormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan ahrkat dan martabat manusia. Oleh karenanya, tidak ada kekuasaan apapun di dunia yang dapat mencabutnya. Hak ini sifatnya sangat mendasar dan fundamental bagi kehidupan manusia, serta menjadi kewajiban dan tanggung jawab bersama antara individu, Pemerintah, bahkan Negara untuk menghormati, melindungi, dan menjunjung tinggi HAM. Perserikatan Bangsa-Bangsa “PBB” memegang peran yang sangat penting dalam rangka memajukan dan melindungi HAM. Perlindungan HAM bahkan menjadi salah satu tujuan PBB sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 1 ayat 3 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa “Piagam PBB” sebagai berikut Untuk mencapai kerja sama internasional dalam menyelesaikan permasalahan internasional di bidang ekonomi, sosial, kebudayaan atau kemanusiaan dan dalam memajukan dan mendorong penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan dasar untuk semua tanpa pembedaan mengenai ras, jenis kelamin, bahasa atau agama. Mekanisme Pelaporan HAM Internasional Dalam hal terjadi pelanggaran HAM Internasional, PBB telah mengakomodir mekanisme pelaporan yang dibedakan menjadi 2 dua mekanisme sebagai berikut a. Mekanisme berdasarkan Perjanjian HAM internasional The Treaty Based Mechanism Treaty Based Mechanism adalah mekanisme pengaduan yang dibentuk berdasarkan perjanjian atau konvensi HAM Internasional. Perjanjian internasional ini hanya berlaku dan mengikat bagi negara yang telah menandatangani dan meratifikasi perjanjian terkait. Contohnya, pengajuan laporan kepada Human Rights Comittee “HRC” yang pembentukannya didasarkan pada International Convenant on Civil and Political Rights “ICCPR” 1976 yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik. b. Mekanisme berdasarkan Piagam PBB The Charter Based Mechanism Charter Based Mechanism adalah prosedur penegakan HAM yang tidak dibentuk oleh konvensi-konvensi HAM akan tetapi berdasarkan Piagam PBB sebagaimana dimandatkan dalam Pasal 55 dan Pasal 56 Piagam PBB antara lain tentang tujuan PBB memajukan pemecahan masalah-masalah internasional dan penghormatan HAM seantero jagad serta kebebasan-kebebasan dasar bagi semua, serta mandat yang dimiliki oleh Dewan Ekonomi dan Sosial “ECOSOC” yang antara lain adalah “.... Mendorong penghormatan universal dan diterapkannya hak asasi dan kebebasan dasar manusia.” Mekanisme pelaporan ini dapat dilakukan seluruh negara anggota, orang, kelompok masyarakat atau organisasi non-pemerintahan apabila mempunyai pengetahuan langsung atau tidak langsung mengenai dugaan pelanggaran, meskipun tidak mendatangani dan meratifikasi perjanjian HAM internasional. Berdasarkan 2 dua mekanisme di atas, jika negara yang Anda maksud tidak meratifikasi perjanjian internasional di bidang HAM, maka negara tersebut hanya dapat melakukan pelaporan dengan mekanisme kedua, yaitu berdasarkan Piagam PBB The Charter Based Mechanism. Pada pembahasan ini kami akan menjelaskan mengenai mekanisme pelaporan HAM berdasarkan Piagam PBB. Mekanisme pelaporan berdasarkan Piagam PBB dilakukan melalui Dewan Hak Asasi Manusia dahulu Komisi Hak Asasi Manusia dan subdivisi-subdivisi di bawah Dewan, serta dua mekanisme yang dibentuk menurut Prosedur 1235 dan Prosedur 1503 sebagai berikut Mekanisme Pelaporan HAM Berdasarkan Piagam PBB a. Dewan HAM PBB Dewan HAM adalah badan PBB yang dibentuk berdasarkan Resolusi Majelis Umum 60/251 tertanggal 15 Maret 2006 sebagai bagian pembaruan untuk memperkuat kegiatan perlindungan HAM PBB. Mekanisme pelaporan sekaligus kepada Dewan HAM PBB dapat dilakukan melalui Prosedur Khusus, Kelompok Kerja, dan Sub Dewan tentang Pemajuan dan Perlindungan HAM. - Prosedur Khusus Tugas kerja dari prosedur khusus adalah sebagai mekanisme pencarian fakta dan investigasi, mengadakan kunjungan ke negara yang tertentu, dan menjalankan misi pencarian fakta dengan menerima laporan langsung dari masyarakat umum. Laporan investigasi disampaikan kepada Dewan HAM yang kemudian akan digunakan sebagai dasar perdebatan politik dan resolusi. - Kelompok Kerja Kelompok kerja terbuka untuk partisipasi semua negara dan organisasi non pemerintah. Kegiatan kelompok kerja bercirikan perdebatan, diskusi, serta pembuatan rekomendasi atas dugaan pelanggaran HAM, yang hasilnya akan disampaikan kepada Dewan HAM. - Sub Dewan tentang Pemajuan dan Perlindungan HAM Subkomisi tersebut mempunyai mandat untuk melakukan penelitian, membuat rekomendasi, berpartisipasi dalam pembuatan konvensi dan mekanisme-mekanisme HAM, menerima laporan, dan memeriksa dugaan pelanggaran HAM. b. Prosedur 1235 dan Prosedur 1503 ECOSOC memberikan kewenangan dalam bidang HAM kepada Dewan HAM PBB dengan mengadopsi dua prosedur yaitu melalui Resolusi 1235 XLII tertanggal 6 Juni 1967 dan Resolusi 1503 XLVIII tertanggal 27 Mei 1970. Melalui Prosedur 1235, Dewan HAM diberikan kuasa untuk melakukan pemeriksaan keterangan yang relevan terkait pelanggaran HAM yang diterima dari perseorangan, organisasi non pemerintah, dan negara sebagaimana dimuat dalam surat pengaduan yang didaftar oleh Sekretaris Jendral, kemudian melakukan studi terhadap pola pelanggaran HAM tersebut. Pada dasarnya Prosedur 1235 bukanlah prosedur pengaduan individual. Dalam hal pelaporan diajukan oleh individual, maka Dewan HAM akan mengarahkan informasi pelanggaran HAM pada survei umum negara yang bersangkutan. Sementara, Prosedur 1503 disusun sebagai prosedur pengaduan individual. Dewan HAM diberi kewenangan untuk mempelajari secara konfidensial komunikasi individual. Komunikasi dari korban, dan organisasi non pemerintah yang telah melewati pengujian dan diterima oleh Sekretaris Jenderal. Philip Alston, sebagaimana dikutip oleh Pranoto Iskandar dalam bukunya Hukum HAM Internasional Sebuah Pengantar hal. 345 menyebut Prosedur 1503 sebagai “petition-information” bukan “petition-redress”, dikarenakan ketiadaan ganti rugi kepada pihak korban. Dengan kata lain, prosedur ini hanya bersifat informatif kepada masyarakat internasional bahwa telah terjadi pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara tertentu. Oleh karenanya, sanksi yang paling dimungkinkan adalah sebatas timbulnya rasa malu “shaming” bagi negara pelanggar, sebab pelanggaran akan dibahas dalam diskusi yang berifat terbuka. Berdasarkan penjelasan di atas, maka negara yang tidak meratifikasi sebuah Perjanjian Internasional dalam bidang HAM tetap dapat melakukan pelaporan khusus HAM di PBB melalui mekanisme Piagam PBB The Charter Based Mechanism yaitu melalui Dewan HAM PBB, Prosedur 1235 maupun Prosedur 1503. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum 1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik; 2. Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa; 3. Resolusi 1235 XLII Pelanggaran Hak-hak Asasi Manusia dan Kebebasan Dasar, termasuk Kebijakan-kebijakan Diskriminasi Rasial dan Pemisahan Rasial dan Apartheid; 4. Resolusi 1503 XLVIII Prosedur untuk Menangani Surat Pengaduan tentang Pelanggaran Hak-hak Asasi Manusia. Referensi 1. ELSAM, Instrumen Hak Asasi Manusia dan Konsep Tanggung Jawab Negara, diakses pada 30 Juni 2017 pukul WIB; 2. Pranoto Iskandar, 2012, Hukum HAM Internasional Sebuah Pengantar, IMR Press Cianjur.

lembaga pbb yang berwenang mengadili pelanggaran ham internasional adalah